Thursday, November 8, 2012

Hubungan Media Massa dan Terorisme


Setelah tragedi 11 September 2001, pemberitaan mengenai terorisme merupakan suatu hal yang menjadi sorotan utama. Hal ini dikarenakan, pusat bisnis dan keuangan di Amerika Serikat telah diledakkan oleh pesawat yang menabrak gedung WTC tersebut. Dengan cepat, pemberitaan mengenai teorisme adalah kewajiban dan didefinisikan sebagai musuh masyarakat bersama. Tidak hanya Amerika saja yang mengutuk tindakan terorisme, akan tetapi dunia telah menafsirkan terorisme adalah kejahatan internasional.
Sebelumnya terorisme hanyalah musuh Amerika saja, karena kebanyakan berasal dari Taliban dan Hizbullah. Di bawah komando Osama Bin Laden, yang merupakan incaran Amerika, teroris diartikan sebagai pemberontak dan melakukan usaha teror, terutama dengan meledakkan bom di tempat tertentu. Tepat pada tragedi 11 September 2001, Amerika telah disusupi oleh teroris yang notabene adalah orang yang tidak diduga-duga sebelumnya. Teroris tersebut adalah berasa dari orang yang tidak diketahui dan belajar penerbangan di Amerika, dan saat berlatih penerbangan tersebut teroris tersebut melakukan penabrakan terhadap gedung WTC.
Sejak saat itulah pemberittaan di media semakin meluas mengenai terorisme. Islam terkena stigma teroris, karena telah banyak melakukan kerusakan di Amerika. Bisa dikatakan, bentuk teror adalah perlawanan terhadap ideologi yang Amerik anut. Di belahan dunia manapun, suguhan terhadap berita terorisme adalah sajian wajib yang didapatkan oleh media massa. Tidak heran, pemberitaan di media tersebut menyebabkan fear of crime bagi masyarakat, sehingga teror adalah hal yang paling ditakuti dan paling dikutuk di dunia.
Media sendiri memanfaatkan isu terorisme sebagai bahan untuk meningkatkan jumlah penonton. Sekalinya ada kejadian terorisme, maka berbagai media akan berebut memperoleh jumlah penonton dengan berbagai cara. Dengan bumbu-bumbu yang dalam kriminologi media disebut nilai-nilai bertia peningkat dan penarik untuk diinformasikan. Selain itu, setelaah berita tersebut naik jumlah penontonnya maka akan bertambah pula keuntungan yang diterima oleh pemilik modal. Pemilik modal menjalankan media massa ini dengan prinsip  bisnis, dan semuanya dilakukan demi meningkatkan akumulasi keuntungan.
Dengan menambah nilai-nilai berita yang dijelaskan oleh Jewkess, yang menekankan berita yang bombastis dan memiliki nilai jual lebih, maka akan dipilih media untuk menarik perhatian konsumen berita. Selain itu, dengan mengganti-ganti angle berita, berita yang menginformasikan satu hal saja bisa menjadi berbagai berita yang berbeda-beda. Permainan angle berita ini kerap kali dilakukan agar keadaan berita selalu dinamis, meskipun hanya melakukan sekali dalam reportase bertia saja.
Perkembangan alat komunilkasi juga menyebabkan peningkatan jumlah konsumsi berita pada media massa. Selain untuk keperluan komunikasi dengan orang lain, gadget komunikasi juga memicu untuk menggunakan fitur untuk berita. Hal ini dikarenakan, salah satu indikator dari majunya teknologi alat komunikasi adalah bertambahnya dan berkembangnya fitur untuk keperluan media massa. Pastinya, korporasi alat komunikasi akan bekerja sama dengan media massa untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Dalam era globalisasi ini, penggunaan media massa adalah sarana yang tepat untuk mengakses segala informasi yang terjadi di dalam masyarakat. Sudah bukan rahasia umum lagi ketika media menyebarkan isu-isu yang memiliki rating tinggi, sehingga dapat memiliki  penonton yang jumlahnya banyak. Tidak hanya itu, media massa juga kerap kali terlalu membesar-besarkan masalah, sehingga realitas yang diserap oleh masyarakat pun sudah daiatur oleh media. Pengaturan nilai berita ini biasanya disebut dengan agenda setting yang didalamnya terdapat indikator dan ketentuan berita yang sesuai dengan selera serta ideologi dari perusahaan media tersebut.
Terkadang media massa disetting untuk pengalihan isu, agar para pemilik modal tidak menjadi sorotan publik. Dalam konteks terorisme, bisa dikatakan bahwa ideologi yang disusng oelh media massa tersebut bertentangan dengan idologi terorisme. Hal ini mengakibatkan, dengan pemberitaan yang ebrlebihan akan dapat membuat pemikiran masyarakat menjadi antipati terhadap fenomena terorisme dan berbagai pihak yang diberi label sebagai teroris. Tidak hanya itu, media memiliki kepentingan selain untuk meningkatkan ratting, juga bermaksud untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa konsep terorisme merupakan musuh bersama.
Saat ini, konsep terorisme tidak hanya diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan terhadap golongan ekonomi kapitalis saja. Ataupun, merupakan bentuk perlawanan untuk pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk teror dan ancaman. Sosok teroris sendiri sekarang juga bukan berasal dari pihak ekonomi bawah atau dengan latar belakang pendidikan rendah. Keadaan semakin berubah seiring dengan perkembangan teknologi, yang menciptakan jenis terorisme baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi.
Berbagai pakar teroris dalam agama Islam di Indonesia memiliki perspektif yang berbeda-benda mengenai definisi terorisme. Akan tetapi, terdapat titik temu bahwa terorisme akan terus berubah seiring dnegan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Seperti yang sudah dijelaskan pada opini dalam situs Online NU yang ditulis oleh Wakasekjen NU Drs H Enceng Shobirin sendiri, menyatakan bahwa bentuk-bentuk terorisme akan selalu berubah. Sesuai dengan perkembangan teknologi, semua latar belakang manusia berpotensi untuk menjadi teroris. Tidak hanya dari golongan ekonomi bawah saja yang berpotensi menjadi teroris, akan tetapi seiring berkembangnya waktu banyak yang berubah dari munculnya teroris.
Konsepnya masih sama, akan tetapi dengan cara yang ebrbeda dan latar belakang pelaku yang mulai beragam. Penebaran rasa takut adalah ancaman yang saat ini masih teridentifikasi sebagai salah satu adanya terorisme. Seperti yang telah diketahui bahwa akhir-akhir ini proses penebaran rasa takut tersebut tetap dilakukan dengan latar belakang manusia yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan orang yang memiliki pendidikan tinggi dan tingkat intelektual tinggi pun saat ini bisa menjadi teroris. Selain itu, dari golongan ekonomi mapan pun juga menjadi teroris, berbeda dengan pola yang terdahulu. Dengan demikian, tidak hanya radikalis agama saja yang berpotensi menyandang gelar potensional teroris. Akan tetapi, paradigma baru lahir yang menyatakan bahwa teroris terkait dengan siklus permintaan dan penawaran. Artinya, tindakan teroris semata-mata bukan hanya untuk memeperjuangkan ideologi yang dianut atau melawan dominasi saja, akan tetapi orang melakukan teroris untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Dalam hal ini hubungan permintaan dan penawaran, bisa diibaratkan korelassi antara media dan fenomena terorisme. Bisa jadi karena terjadi terorisme, maka rating berita akan meningkat, sehingga keuntungan pemilik modal dalam media massa akan mendapatkan keuntungan ekonomi. Di satu sisi, teroris pun sebenarnya juga mendapatkan dampak yang cukup positif bagi teroris tersebut. Yaitu, teroris busa menyebarkan ideologinya dengan pemberitaan di media massa yang secara nyata akan dan lama kelamaan akan memperngaruhi konstruksi pemikiran masyarakat terhadap teroris itu sendiri.
Seperti pada fenomena Stockholm Syndrome, yaitu ketika seorang tawanan teroris bisa berinteraksi dan diberi keleluasaan oleh pihak keamanan untuk berkomunikasi. Pada awalnya, bukan suatu ketakutan ketika teroris sudah tertangkap oleh aparat, namun dengan berinteraksinya teroris dan sandra tersebut, proses transmisi ideologi dan pandangan bisa saling bertukar pikiran. Maka dari itu, hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang diberi penayangan media massa yang secara terus-menerus mengenai teroris. Bisa jadi, memang sebenarnya ketika media memberitakan secara gencar mengenai terorisme, maka tujuan teorris tersebut adalah menyebarkan ideologi untuk menambah simpatisan yang berkenan ikut dalam jaringan terorisme.
Dengan pemberitaan yang bombastis yang digembar-gemborkan media maka segala publikasi ini yang dinamakan sebagai poin tambahan untuk keuntungan atau profit melimpah. Bagi pihak teroris sendiri bisa melakukan dengan memberikan ketakutan-ketakutan baru agar diliput media dan dengan demikian dapat menjadi poin tambahan dalam menyebarkan ideologi melalui berita. Segala yang dilakukan oleh teroris akan cenderung melakukan pembenaran dan agar dapat menarik simpati sebesar-besarnya. Kemungkinan ini pastinya sudah diperkirakan oleh teroris, dan tenatunya setiap tindakan teroris setidaknya mengandung asas pilihan rasional. Hal ini menandakan bahwa jaringan teroris memiliki kemampuan perencanaan yang akuran dan matang serta memperhitungkan aspek untung dan rugi.
Dengan demikian, antara media dan fenomena terorisme dalah hubungan saling menguntungkan,  atau simbiosis mutualisme. Hubungan timbal balik antara media massa dan teroris adalah, bahwa teroris bisa dengan keuntungan besar bisa menyebarkan faham-faham dan ketakutan melalui berita. Sedangkan dari media massa sendiri mendapatkan ratting yang tinggi karena berita terorisme ini begitu tinggi tingkat konsumen beritanya. Maka dari itu, baik secara langsung maupun tak langsung, baik disengaja maupun tidak disengaja dapat dikatakan bahwa media massa dan teroris mendapatkan masing-masing keuntungan. Tanpa adanya media, terorisme tidak akan  mewabah, dan tanpa adanya terorisme, media akan kekurangan rating konsumen berita.
Bisa dikatakan, bahwa media dapat diasumsikan bahwa sebagai perpanjangtanganya terorisme. Kejadian terorisme yang menimpa suatu wilayah tentunya akan disiarkan oleh media massa. Hal ini menandakan bahwa ketakutan yang dirasakan korban teror pada realitasnya diteruskan peleh media dan disebarkan ke masyarakat. Dengan demikian media juga melakukan teror kepada masyarakat dengan pemberitaan menganai gejala teror yang menimpa suatu wilayah. Kesimpulannya adalah, media menciptakan dua sisi antagonistik dalam upaya teror dan kontra teror.
Bagaikan simbiosis mutualisme, hal inilah yang dikhawatirkan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi kekuatan teror kian subur bersemi di media yang berdampak pada penyebaran suasana ketakutan masyarakat. Di sisi lain, media secara tak sengaja telah menyediakan medium aktualisasi terorisme. Bila melihat sisi manfaat terorisme bagi media adalah sebagai alat untuk menaikkan ratting dan jumlah konsumen berita atas media tersebut. dengan demikian, profit dari media massa dapat optimal. Hal ini dikarenakan sampai sekarang, pemberitaan tentang terorisme sangat tidak sepi konsumen, karena di dalamnya terdapat suatu ancaman yang harus diwaspadai oleh khalayak umum.

Sumber:
Gabriel, A. Mark. Islam and Terrorism. 2002. Florida: Charisma House
Undang-undang Anti Terorisme: ASIO, Polisi, dan Anda
http://media.kompasiana.com/new-media/2011/12/03/media-dan-terorisme/ diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012, pukul 22:23 WIB

No comments: