Setelah tragedi 11 September 2001, pemberitaan mengenai
terorisme merupakan suatu hal yang menjadi sorotan utama. Hal ini dikarenakan,
pusat bisnis dan keuangan di Amerika Serikat telah diledakkan oleh pesawat yang
menabrak gedung WTC tersebut. Dengan cepat, pemberitaan mengenai teorisme
adalah kewajiban dan didefinisikan sebagai musuh masyarakat bersama. Tidak
hanya Amerika saja yang mengutuk tindakan terorisme, akan tetapi dunia telah
menafsirkan terorisme adalah kejahatan internasional.
Sebelumnya terorisme hanyalah musuh Amerika saja, karena
kebanyakan berasal dari Taliban dan Hizbullah. Di bawah komando Osama Bin
Laden, yang merupakan incaran Amerika, teroris diartikan sebagai pemberontak
dan melakukan usaha teror, terutama dengan meledakkan bom di tempat tertentu.
Tepat pada tragedi 11 September 2001, Amerika telah disusupi oleh teroris yang
notabene adalah orang yang tidak diduga-duga sebelumnya. Teroris tersebut
adalah berasa dari orang yang tidak diketahui dan belajar penerbangan di
Amerika, dan saat berlatih penerbangan tersebut teroris tersebut melakukan
penabrakan terhadap gedung WTC.
Sejak saat itulah pemberittaan di media semakin meluas
mengenai terorisme. Islam terkena stigma teroris, karena telah banyak melakukan
kerusakan di Amerika. Bisa dikatakan, bentuk teror adalah perlawanan terhadap
ideologi yang Amerik anut. Di belahan dunia manapun, suguhan terhadap berita
terorisme adalah sajian wajib yang didapatkan oleh media massa. Tidak heran,
pemberitaan di media tersebut menyebabkan fear of crime bagi masyarakat,
sehingga teror adalah hal yang paling ditakuti dan paling dikutuk di dunia.
Media sendiri memanfaatkan isu terorisme sebagai bahan
untuk meningkatkan jumlah penonton. Sekalinya ada kejadian terorisme, maka
berbagai media akan berebut memperoleh jumlah penonton dengan berbagai cara.
Dengan bumbu-bumbu yang dalam kriminologi media disebut nilai-nilai bertia
peningkat dan penarik untuk diinformasikan. Selain itu, setelaah berita
tersebut naik jumlah penontonnya maka akan bertambah pula keuntungan yang
diterima oleh pemilik modal. Pemilik modal menjalankan media massa ini dengan
prinsip bisnis, dan semuanya dilakukan
demi meningkatkan akumulasi keuntungan.
Dengan menambah nilai-nilai berita yang dijelaskan oleh
Jewkess, yang menekankan berita yang bombastis dan memiliki nilai jual lebih,
maka akan dipilih media untuk menarik perhatian konsumen berita. Selain itu,
dengan mengganti-ganti angle berita, berita yang menginformasikan satu hal saja
bisa menjadi berbagai berita yang berbeda-beda. Permainan angle berita ini
kerap kali dilakukan agar keadaan berita selalu dinamis, meskipun hanya
melakukan sekali dalam reportase bertia saja.
Perkembangan alat komunilkasi juga menyebabkan
peningkatan jumlah konsumsi berita pada media massa. Selain untuk keperluan
komunikasi dengan orang lain, gadget komunikasi juga memicu untuk menggunakan
fitur untuk berita. Hal ini dikarenakan, salah satu indikator dari majunya
teknologi alat komunikasi adalah bertambahnya dan berkembangnya fitur untuk
keperluan media massa. Pastinya, korporasi alat komunikasi akan bekerja sama
dengan media massa untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Dalam era globalisasi ini, penggunaan media massa adalah
sarana yang tepat untuk mengakses segala informasi yang terjadi di dalam
masyarakat. Sudah bukan rahasia umum lagi ketika media menyebarkan isu-isu yang
memiliki rating tinggi, sehingga dapat memiliki
penonton yang jumlahnya banyak. Tidak hanya itu, media massa juga kerap
kali terlalu membesar-besarkan masalah, sehingga realitas yang diserap oleh
masyarakat pun sudah daiatur oleh media. Pengaturan nilai berita ini biasanya
disebut dengan agenda setting yang didalamnya terdapat indikator dan ketentuan
berita yang sesuai dengan selera serta ideologi dari perusahaan media tersebut.
Terkadang media massa disetting untuk pengalihan isu,
agar para pemilik modal tidak menjadi sorotan publik. Dalam konteks terorisme,
bisa dikatakan bahwa ideologi yang disusng oelh media massa tersebut
bertentangan dengan idologi terorisme. Hal ini mengakibatkan, dengan
pemberitaan yang ebrlebihan akan dapat membuat pemikiran masyarakat menjadi
antipati terhadap fenomena terorisme dan berbagai pihak yang diberi label
sebagai teroris. Tidak hanya itu, media memiliki kepentingan selain untuk
meningkatkan ratting, juga bermaksud untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa
konsep terorisme merupakan musuh bersama.
Saat ini, konsep terorisme tidak hanya diidentikkan
sebagai bentuk pembangkangan terhadap golongan ekonomi kapitalis saja. Ataupun,
merupakan bentuk perlawanan untuk pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk teror
dan ancaman. Sosok teroris sendiri sekarang juga bukan berasal dari pihak
ekonomi bawah atau dengan latar belakang pendidikan rendah. Keadaan semakin
berubah seiring dengan perkembangan teknologi, yang menciptakan jenis terorisme
baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi.
Berbagai pakar teroris dalam agama Islam di Indonesia
memiliki perspektif yang berbeda-benda mengenai definisi terorisme. Akan
tetapi, terdapat titik temu bahwa terorisme akan terus berubah seiring dnegan
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Seperti
yang sudah dijelaskan pada opini dalam situs Online NU yang ditulis oleh Wakasekjen NU Drs H Enceng Shobirin
sendiri, menyatakan bahwa
bentuk-bentuk terorisme akan selalu berubah. Sesuai dengan perkembangan
teknologi, semua latar belakang manusia berpotensi untuk menjadi teroris. Tidak
hanya dari golongan ekonomi bawah saja yang berpotensi menjadi teroris, akan
tetapi seiring berkembangnya waktu banyak yang berubah dari munculnya teroris.
Konsepnya masih sama, akan tetapi dengan cara yang
ebrbeda dan latar belakang pelaku yang mulai beragam. Penebaran rasa takut
adalah ancaman yang saat ini masih teridentifikasi sebagai salah satu adanya
terorisme. Seperti yang telah diketahui bahwa akhir-akhir
ini proses penebaran rasa takut tersebut tetap dilakukan dengan latar belakang
manusia yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan orang yang memiliki pendidikan tinggi dan tingkat intelektual
tinggi pun saat ini bisa menjadi teroris. Selain
itu, dari golongan ekonomi mapan pun
juga menjadi teroris, berbeda dengan pola yang terdahulu. Dengan demikian,
tidak hanya radikalis agama saja yang berpotensi menyandang gelar potensional
teroris. Akan tetapi, paradigma baru lahir yang menyatakan bahwa teroris
terkait dengan siklus permintaan dan penawaran. Artinya, tindakan teroris semata-mata bukan hanya untuk memeperjuangkan
ideologi yang dianut atau melawan dominasi saja, akan tetapi orang melakukan
teroris untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Dalam hal ini hubungan permintaan dan penawaran, bisa
diibaratkan korelassi antara media dan fenomena terorisme. Bisa jadi karena
terjadi terorisme, maka rating berita akan meningkat, sehingga keuntungan pemilik
modal dalam media massa akan mendapatkan keuntungan ekonomi. Di satu sisi,
teroris pun sebenarnya juga mendapatkan dampak yang cukup positif bagi teroris
tersebut. Yaitu, teroris busa menyebarkan ideologinya dengan pemberitaan di
media massa yang secara nyata akan dan lama kelamaan akan memperngaruhi
konstruksi pemikiran masyarakat terhadap teroris itu sendiri.
Seperti pada fenomena Stockholm Syndrome, yaitu ketika
seorang tawanan teroris bisa berinteraksi dan diberi keleluasaan oleh pihak
keamanan untuk berkomunikasi. Pada awalnya, bukan suatu ketakutan ketika teroris
sudah tertangkap oleh aparat, namun dengan berinteraksinya teroris dan sandra
tersebut, proses transmisi ideologi dan pandangan bisa saling bertukar pikiran.
Maka dari itu, hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang diberi penayangan
media massa yang secara terus-menerus mengenai teroris. Bisa jadi, memang
sebenarnya ketika media memberitakan secara gencar mengenai terorisme, maka
tujuan teorris tersebut adalah menyebarkan ideologi untuk menambah simpatisan
yang berkenan ikut dalam jaringan terorisme.
Dengan
pemberitaan yang bombastis
yang digembar-gemborkan media maka segala publikasi ini yang dinamakan sebagai
poin tambahan untuk keuntungan atau profit
melimpah. Bagi pihak teroris sendiri bisa melakukan
dengan memberikan ketakutan-ketakutan baru agar diliput media dan dengan
demikian dapat menjadi poin tambahan dalam menyebarkan ideologi melalui berita.
Segala yang dilakukan oleh teroris akan cenderung melakukan pembenaran dan agar
dapat menarik simpati sebesar-besarnya.
Kemungkinan ini pastinya sudah diperkirakan oleh teroris, dan tenatunya setiap
tindakan teroris setidaknya mengandung asas pilihan rasional. Hal ini
menandakan bahwa jaringan teroris memiliki kemampuan perencanaan yang akuran
dan matang serta memperhitungkan aspek untung dan rugi.
Dengan demikian, antara media dan fenomena terorisme
dalah hubungan saling menguntungkan,
atau simbiosis mutualisme. Hubungan timbal balik
antara media massa dan teroris adalah, bahwa teroris bisa dengan keuntungan
besar bisa menyebarkan faham-faham dan ketakutan melalui berita. Sedangkan dari
media massa sendiri mendapatkan ratting yang tinggi karena berita terorisme ini begitu tinggi tingkat konsumen beritanya.
Maka dari itu, baik secara langsung maupun tak langsung, baik disengaja maupun
tidak disengaja dapat dikatakan bahwa media massa dan teroris mendapatkan
masing-masing keuntungan. Tanpa adanya media,
terorisme tidak akan mewabah, dan tanpa
adanya terorisme, media akan kekurangan rating konsumen berita.
Bisa dikatakan, bahwa media dapat diasumsikan bahwa
sebagai perpanjangtanganya terorisme. Kejadian terorisme yang menimpa suatu
wilayah tentunya akan disiarkan oleh media massa. Hal ini menandakan bahwa
ketakutan yang dirasakan korban teror pada realitasnya diteruskan peleh media
dan disebarkan ke masyarakat. Dengan demikian media juga melakukan teror kepada
masyarakat dengan pemberitaan menganai gejala teror yang menimpa suatu wilayah.
Kesimpulannya adalah, media menciptakan dua sisi antagonistik dalam upaya teror
dan kontra teror.
Bagaikan
simbiosis mutualisme, hal inilah yang dikhawatirkan menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi kekuatan teror kian subur bersemi di media yang berdampak pada
penyebaran suasana ketakutan masyarakat. Di sisi lain, media secara tak sengaja
telah menyediakan medium aktualisasi terorisme. Bila melihat sisi manfaat
terorisme bagi media adalah sebagai alat untuk menaikkan ratting dan jumlah
konsumen berita atas media tersebut. dengan demikian, profit dari media massa
dapat optimal. Hal ini dikarenakan sampai sekarang, pemberitaan tentang
terorisme sangat tidak sepi konsumen, karena
di dalamnya terdapat suatu ancaman yang harus diwaspadai oleh khalayak umum.
Sumber:
Gabriel, A. Mark. Islam and Terrorism. 2002. Florida:
Charisma House
Undang-undang Anti Terorisme: ASIO, Polisi, dan Anda
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,36477-lang,id-c,kolom
t,Otokritik+Media+dan+Citra+Terorisme-.phpx
diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012, pukul 22:21 WIB
http://media.kompasiana.com/new-media/2011/12/03/media-dan-terorisme/
diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012, pukul 22:23 WIB
No comments:
Post a Comment