Wednesday, May 30, 2012

UAS VIKTIMOLOGI : HIDDEN VICTIM PADA ANAK YANG TINGGAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Latar Belakang
Setiap tindak kejahatan pasti akan menimbulkan korban, karena sesuai dengan definisi kejahatan itu sendiri membutuhkan faktor korban sebagai terciptanya suatu kondisi tersebut. Kejahatan muncul dikarenakan adanya pelaku, korban, dan reaksi sosial. Dalam kajian kriminologis, analisa mengenai korban kejahatan dikaji tersendiri. Pengkajian mengenai korban kejahatan disebut dengan viktimologi. Pembahasan mengenai korban-korban dalam viktimologi dapat dijelaskan dalam tipologi korban.
Menurut tipologi korban kejahatan berdasarkan keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan menurut Ezzat Abdel Fattah, tipologi korban antara lain nonparticipating victims, latent victims, provocative victim, participating victim, false victim. Sedangkan ditinjau dari perspektif korban sendiri menurut Stephen Schafer antara lain, unrelated victims, provocative victims, participating victim, biologically weak victim, socially weak victim, self victimizing victim, political victim. sedangkan pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang yaitu, primary victimization, secondary victimization, tertiary victimization, dan, no victimization.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali melihat suatu kejahatan yang korbannya jelas terlihat. Seperti kejahatan jalanan pencopetan, perampokan, dan penganiayaan, semuanya memiliki penegasan korban secara nyata dan terlihat jelas ditunjukkan. Akan tetapi, terdapat banyak kejahatan dengan korban yang tersembunyi, yaitu hidden victim. Jenis dari korban ini adalah korban akibat suatu tindakan yang kita jarang definisikan sebagai korban, namun posisinya pada dasarnya sebagai korban. Dengan kata lain, jenis korban ini memiliki definisi sebagai korban yang tersembunyi.
Korban yang tersembunyi atau hidden victim ini merupakan jenis korban yang kita seringkali tidak menyangkanya sebagai korban. Sebagai contoh dari hidden victim ini adalah seorang anak yang masih membutuhkan asuhan orang tua dan kebutuhan dari orang tua yang terpaksa tinggal bersama orang tuanya di penjara. Hal ini mungkin terlihat sebagai kondisi yang lazim sebagai keprihatinan orang tua terhadap anaknya. Ironisnya, dari pihak penjara sendiri menganggap hal ini sebagai bentuk hak-hak ibu terhadap anaknya dalam mengurus dan menjaga.
Hal ini sangat kontradiktif sendiri mengingat kita tahu bahwa penjara adalah alat penghukuman yang digunakan negara dalam pembinaan narapidana. Dengan demikian dapat dikatakan apabila seseorang dipenjara adalah akibat mereka melakukan kejahatan. Bersangkutan dengan kasus anak, terlihat bahwa anak yang masih membutuhkan ibunya yang berstatus sebagai narapidana akan terkena efek kriminalisasi terhadap anak. Anak yang masih berusia seperti balita mendekap di penjara layaknya orang dewasa yang terbukti melakukan kejahatan.
Dari pihak penjara sendiri, hal ini digunakan sebagai hak ibu dalam mengurus anaknya. Akan tetapi mengingat kondisi penjara yang sangat tidak cocok bagi anak-anak apalagi balita, menjadi hal yang sangat membahayakan bagi tumbuh kembang anak. Anak yang seharusnya tumbuh kembang pada kondisi yang aman dengan hak-hak kesehatan tercukupi, menjadi terkriminalisasi secara tersembunyi bila diasuh di dalam penjara.
Akibat dari kriminalisasi dan pengasuhan anak dalam penjara, akan menimbulkan suatu korban tersembunyi yang diakibatkan oleh sistim peradilan pidana. Tidak adanya regulasi yang menhgatur secara detail mengenai anak dengan orang tua di penjara, haruslah dikaji ulang. Hal ini nantinya akan berguna dalam menanggulangi terjadinya suatu korban tersembunyi yang kita selalu anggap sebagai hal yang wajar.
Permasalahan
Munculnya hidden victim menjadikan fenomena tersendiri dalam kajian korban kejahatan. Sebelumnya, korban hanya berkutat pada kejahatan konvensional, kerah putih atau kejahatan harta benda dengan korban yang memiliki definisi jelas. Akan tetapi, saat ini munculnya suatu definisi terhadap korban dengan kondisi tersembunyi akibat kita menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Apalagi dalam sistim peradilan pidana dengan proses pemenjaraan yang memiliki banyak dampak bagi penghuninya. Pada makalah ini, akan memfokuskan kepada hidden victim pada anak-anak dalam sistim peradilan pidana di penjara. Bagaimana proses viktimisasi terhadap korban hidden victim dan bagaimana cara pemenuhan hak-hak bagi para korban hidden victim.
Kajian Kepustakaan
Jurnal Internasional
Jurnal berjudul Surveys of Victimization-An Optimistic Assesment menjelaskan bahwa figur gelap dari kejahatan tidak terekam dalam statistik kepolisian yang telah menghantui kriminolog selama berabad terakhir. Kejahatan tersembunyi belumlah tercatat dengan baik oleh catatan kriminal kepolisian. Sulitnya pendefinisian korban dan persepsi korban haruslah dikaji ulang dalam penelitian survey korban.
Dalam Jurnal yang berjudul Preventing Repeat Victimization menyatakan bahwa fenomena reviktimisasi atau viktimisasi berulang merepresentasikan proporsi besar dari semua viktimisasi. Kejahatan yang berulang terjadi pada daerah dengan kejahatan tinggi pada periode yang relatif singkat. Reviktimisasi juga terjadi pada kejahatan yang menimbulkan hidden victim. korban yang tidak terlihat akan cenderung terkena viktimisasi berganda juga karena tidak adanya kesadaran dari masyarakat.
Dalam jurnal yang berjudul Perceived Victimization in the workplace: The role of situational factors and victim characteristic menjelaskan bahwa teori viktimisasi berfungsi sebagai saran dalam kajian ilmiah untuk mengetahui seberapa besarkah suatu individu berbahaya atau beresiko. Berdasarkan riset viktimologi kriminal menyatakan bahwa pekerja lebih rentan untuk mengalami viktimisasi. Dalam hirarki pekerjaan, resiko terkena kejahatan adalah yang berada dalam status pekerjaan rendah.
Jurnal Student Victimization National and School System Effects on School Violence in 37 Nations menyatakan bahwa kekerasan di sekolah merupakan masalah diberbagai negara. Integrasi sosial dengan negara yang menjadi penyebab kekerasan di sekolah. Di samping itu, viktimisasi terhadap anak-anak di sekolah tersebut dikarenakan prestasi sekolah yang tidak begitu bagus. Anak-anak menjadi korban dari sistim sekolah yang tidak memadai.
Dalam Jurnal Crime Victimization: Its Extent and Communication menjelaskan bahwa konteks peradilan pidana diidentifikasikan dengan pemahaman dan komunikasi resiko yang penting. Peluang viktimisasi diklasifikasikan oleh tempat dan orangnya tersebut. resiko kejahatan dari penelitian The British Crime Survey dijelaskan bahwa perlu adanya pencatatan tempat dengan resiko kejahatan tinggi agar viktimisasi tidak terulang lagi.
Menurut Jurnal Crime Victims Serving as Jurors: Is There Bias Present? Menjelaskan bahwa korban dari kekerasan tidak seperti kejahatan tanpa korban.
Dalam jurnal Explaining Intimate Partner Violence: The Sociological Limitations of Victimization Studies menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim merupakan hal yang sangat lazim terjadi.
Kajian Teori
Sejumlah penulis dan peneliti bidang viktimologi merumuskan beberapa tipologi korban kejahatan. Tipologi-tipologi tersebut dirumuskan berdasarkan kriteria yang berbeda-beda, namun demikian terdapat persamaan umum dalam maknanya M.E. Wolfgang (1967), merumuskan tipologi korban kejahatan secara bertingkat, meliputi : 1. Primary victimization, 2. Secondary victimization, 3. Tertiary victimization, 4. Mutual victimization, 5. No victimization. Kategori-kategori korban yang dirumuskan oleh Wolfgang secara bertingkat tersebut, oleh E.A. Fattah (1967) dirumuskan berdasarkan peran korban, menjadi : 1. Non participating victim, 2. Latent or predisposed victim, 3. Provocative victims, 4. Participating victims, 5. False victims. B. Mendhelsohn sebagai pelopor viktimologi merumuskan tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan korban dalam peristiwa kejahatan (lihat Scafer, 1968) menjadi : 1. The completely innocent victim, 2. The victim with minor guilt, due to his ignorance, 3. The victim as guilty as the offender, 4. The victim more guilty than the offender. a, the provoker victim. b, the imprudent victim. 5. The most guilty victim, guilty alone, 6. The simulating victim, imaginary victim.
Teori viktimisasi kriminal utama yang dihasilkan dalam bidang viktimologi baru muncul pada tahun 1978. Pada tahun itu Hindelang, Gottredson, dan Gorofalo merumuskan Lifestyle-Exposure Theories of Victimization (teori-teori viktimisasi karena terpaan gaya hidup). Tahun berikutnya (1979), Cohen dan felson merumuskan Routine Activity Theory (teori aktifitas rutin). Tahun 1993, atau lebih dari satu decade kemudian, Meier dan miethe mencoba menggabungkan kedua teori diatas menjadi Structural-Choice Model of Victimization (model viktimisasi pilihan structural).
Menurut Cohen dan Felson, perubahan struktural dalam pola aktifitas rutin mempengaruhi tingkat kejahatan melalui pemusatan tiga unsur hubungan langsung kejahatan jalanan, yaitu adanya calon pelaku yang mempunyai motif melakukan kejahatan, adanya sasaran yang cocok, dan ketidakcukupan pengawasan terhadap pelanggaran, pada waktu dan tempat tertentu. Perubahan struktural, yang lebih dipahami sebagai perubahan sosial yang terwujud dengan adanya kemajuan teknologi, merupakan faktor yang mempengaruhi aktifitas rutin, yang pada akhirnya meningkatkan resiko viktimisasi criminal.
Definisi Konseptual
Pengalaman viktimisasi yaitu pengalaman menjadi korban kejahatan.
Viktimitas yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pengalaman viktimisasi.
Peristiwa pengulangan menjadi korban kejahatan ini disebut sebagai viktimisasi berganda.
Hidden Victim adalah korban yang tidak terlihat akibat anggapan sebagai sesuatu yang wajar, padahal korban mengalami ketidakadilan dan viktimisasi.
Uraian Kasus
Kasus ini menceritakan tentang anak yang masih berusia 16 bulan yang kondisinya ikut masuk dalam tahanan di penjara. Kedua orang tua dari anak yang berusia 16 bulan ini merupakan tersangka pembunuh keluarga I Made Purnabawa. Kedua tersangka tersebut adalah Heru Hardiyanto dan I Putu Anita Supra Dewi yang kondisinya menjadi tahanan di sel Mapolresta Denpasar. Dengan alasan seperti itulah, anak mereka yang masih berusia 16 mulan mendekap di dinginnya penjara.
Menurut keterangan dari Kasubag Humas Polresta Denpasar, AKP Ida Bagus Made Sarjana menyatakan bahwa tersangka sengaja membawa anaknya masuk tahanan dikarenakan demi kepentingan anak tersebut. anak tersebut bila ditingal di luar penjara tidak akan ada yang mengurusnya, dan lebih baik hidup dengan ibunya di penjara. Di penjara, anak tersebut dapat dirawat oleh Ibu.
Menurut Sarjana, kebijakan memperbolehkan balita tinggal bersama ibunya juga bertujuan positif agar tidak menyengsarakan keduanya. Pihak kepolisian akan tetap menjamin hak-haknya sebagai seorang ibu maupun hak anak untuk dekat dengan orang tuanya. Akan tetapi, dari pihak kepolisian tidak menjamin semua biaya atau kebutuhan selama balita itu di sel, dan bukan merupakan tanggungjawab pihak penjara.
Sampai saat ini, pelaku yang sudah berhasil dibekuk dan ditahan di Bali, mencapai 5 orang. Pihak kepolisian masih melakukan pengejaran terhadap 2 pelaku lainnya yang diduga bersembunyi di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tim gabungan masih di lapangan, sampai saat ini dua pelaku lainnya masih buron termasuk mobil Kijang Innova juga masih dicari.
Analisis Kasus
Kasus yang menimpa anak yang masih berumur 16 tahun ini merupakan sebuah viktimisasi tersembunyi yang berada pada kedok sistim peradilan pidana. Menurut definisinya dari hidden victim, menyatakan bahwa korban yang tidak terlihat akibat anggapan sebagai sesuatu yang wajar, padahal korban mengalami ketidakadilan dan viktimisasi. Hal ini mengungkapkan bahwa sebenarnya, anak balita yang masih ikut dengan Ibunya yang tersangkut tindak pidana merupakan kasus hidden victim.
Menurut Jurnal Surveys of Victimization-An Optimistic Assesment menyatakan bahwa selama ini kejahatan tersembunyi tidaklah tercatat oleh sistim peradilan pidana. Hal ini membuat survey korban kejahatan juga tidak mencatat adanya kejahatan semacam ini. Statistik kepolisian kejahatan selama ini menjelaskan bahwa figur gelap dari kejahatan tidak terekam dalam statistik kepolisian. Kejahatan tersembunyi belumlah tercatat dengan baik oleh catatan kriminal kepolisian. Sulitnya pendefinisian korban dan persepsi korban haruslah dikaji ulang dalam penelitian survey korban.
Berdasarkan jurnal Preventing Repeat Victimization menyatakan bahwa fenomena reviktimisasi atau viktimisasi berulang merepresentasikan proporsi besar dari semua viktimisasi. Reviktimisasi apabila dikaitkan dengan kasus hidden victim anak berusia 16 bulan di pendara antara lain bahwa banyak tindakan keliru seperti ini dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Apabila hidden victim ini tidak ditangani dan tidak menjadi perhatian lebih, maka dikhawatirkan akan terjadi reviktimisasi dari adanya hidden victim. Reviktimisasi juga terjadi pada kejahatan yang menimbulkan hidden victim. Korban yang tidak terlihat akan cenderung terkena viktimisasi berganda juga karena tidak adanya kesadaran dari masyarakat.
Maka dari itu, untuk menghilangkan viktimisasi berulang akibat ketidaksadaran dari pemerintah dalam memberikan perhatian kritis terhadap hidden victim adalah dengan membuat bantuan dan anggaran yang dikhususkan untuk ibu yang memiliki balita. Ibu yang memiliki balita tersebut nantinya akan dititipkan kepada pihak yang berwajib dengan kondisi seadanya. Pihak lembaga pemasyarakatan akan memberikan sebuat klarifikasi dan konfirmasi atas kebenaran anak tersebut. sehingga, meminimalisir adanya suatu pemanfaatan dari narapidana yang mengaku punya anak.
Seperti yang disebutkan dalam jurnal Student Victimization National and School System Effects on School Violence in 37 Nations, saya mengasumsikan anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan sama dengan anak yang berada di sekolah yang rusak. Anak-anak menjadi korban dari sistim sekolah yang tidak memadai tersebut. Lembaga pemasyarakatan yang di dalamnya ada balita, akan mempunyai dampak yang besar bagi kerentanan balita tersebut. sebagai sekolah yang rusak bagi balita, penjara ini akan membawa nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang tidak sesuai pula.
Dalam jurnal Crime Victimization: Its Extent and Communication menjelaskan bahwa konteks peradilan pidana diidentifikasikan dengan pemahaman dan komunikasi resiko yang penting. Peluang viktimisasi diklasifikasikan oleh tempat dan orangnya tersebut. Meskipun lembaga pemasyarakatan berisi tentang nilai-nilai yang akan diterapkan kepada warga binaan agar dapat kembali ke masyarakat, juga terdapat nilai-nilai transmisi budaya menyimpang di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain, tempat berkumpulnya orang-orang delinkuen dan pelanggar hukum membuat lembaga pemasyarakatan menjadi tempat dengan resiko kejahatan tinggi.Resiko kejahatan dari penelitian The British Crime Survey dijelaskan bahwa perlu adanya pencatatan tempat dengan resiko kejahatan tinggi agar viktimisasi tidak terulang lagi. Apabila di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut terdapat anak-anak di bawah umur, ditakutkan akan terkena imbas yang cukup signifikan bagi tumbuh kembang anak. Konsisi psikologis anak juga akan terganggu dengan kehidupan di lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian, sebisa mungkin apabila terdapat anak jangan sampai berada dalam penjara. Apabila anak masih menggantungkan hidupnya pada orang tua, tunggu sampai anaknya sudah cukup besar dan barulah orang tuanya ditahan di lembaga pemasyarakatan.
Menurut analisa jurnal Explaining Intimate Partner Violence: The Sociological Limitations of Victimization Studies menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim merupakan hal yang sangat lazim terjadi. Hal ini yang sangat dikhawatirkan, bahwa kondisi anak bisa terancam di lembaga pemasyarakatan apabila kondisi ibu dari anak tersebut sedang tidak baik. Anak dapat menjadi pelampiasan dari kemarahan Ibu. Kedekatan initim dapat berdampak pada kekerasan terhadap anak. Jadi, sebisa mungkin anak tidak dibiarkan tinggal di lembaga pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan anak merupakan hidden victim dari adanya lembaga pemasyarakatan.
Pemenuhan hak-hak anak sebagai korban hidden victim adalah dengan pemberian tunjangan khusus bagi anak yang orang tuanya berada dalam penjara. Akan tetapi, hanya dibatasi pada anak yang benar-benar tidak ada yang merawatnya saat orang tuanya di penjara. Apabila terdapat orang tuanya dipenjara namun dalam keluarga ada yang mau merawatnya maka pihak lembaga pemasyarakatan akan menitipkan bagi keluarga saudara yang mau merawatnya.
Kesimpulan
Proses viktimisasi dari hidden crime bagi anak-anak dipenjara adalah sebuah ketidaksadaran pemerintah dalam memberikan tinjauan kritis terhadap masalah anak. bahwa sesungguhnya anak tidak berada pada lembaga pemasyarakatan dengan dalih mengikuti orang tuanya agar bisa diurus. Pemerintah seharusnya memberikan anggaran khusus bagi anak yang ibunya adalah narapidana. Apabila perlakuan anak dalam penjara tidak membuat kondisi dan mengangkat kepentingan anak, maka dengan kata lain negara telah membuat tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus dengan perlakuan tidak baik.
Penjara bukanlah tempat yang baik untuk anak. Dengan demikian, sebisa mungkin anak jangan sampai masuk penjara meskipun dengan alasan tidak ada tanggung jawab lapas. Pemenuhan hak-hak anak di dalam penjara sebagai hidden victim haruslah mulai diperhatikan dan dibuatnya suatu kebijakan yang dapat membuat anak menjadi lebih baik.












Daftar Pustaka
• Sparks, F Richard. Surveys of Victimization-An Optimistic Assessment. Crime and Justice, Vol. 3 (1981), pp. 1-60
• Farrel, Graham. Preventing Repeat Victimization. Crime and Justice, Vol. 19, Building a Safer Society: Strategic Approaches to CrimePrevention (1995), pp. 469-534
• Aquino, Karl and Bradfield, Murray. Perceived Victimization in the Workplace: The Role of Situational Factors and VictimCharacteristics. Organization Science, Vol. 11, No. 5 (Sep. - Oct., 2000), pp. 525-537
• Motoko Akiba, Gerald K. LeTendre, David P. Baker and Brian Goesling. Student Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37 Nations. American Educational Research Journal, Vol. 39, No. 4 (Winter, 2002), pp. 829-853
• Paul Wiles, Jon Simmons and Ken Pease. Crime Victimization: Its Extent and Communication. Journal of the Royal Statistical Society. Series A (Statistics in Society), Vol. 166, No. 2(2003), pp. 247-252
• Scott E. Culhane, Harmon M. Hosch and William G. Weaver. Crime Victims Serving as Jurors: Is There Bias Present?. Law and Human Behavior, Vol. 28, No. 6 (Dec., 2004), pp. 649-659
• Joseph H. Michalski. Explaining Intimate Partner Violence: The Sociological Limitations of Victimization Studies. Sociological Forum, Vol. 20, No. 4 (Dec., 2005), pp. 613-640
• Abdussalam. 2010. Victimology. Jakarta : PTIK
• Yulia, Rena. 2010. Viktimologi. Yogyakarta : Graha Ilmu
• http://news.okezone.com/read/2012/03/01/340/585514/bayi-ini-ikut-merasakan-dipenjara-bersama-orangtuanya diakses pada tanggal 29 Mei 2012, pukul 12.51 AM

No comments: