Monday, June 25, 2012

Review Jurnal Kuasi Eksperimental




Metode Penelitian Kriminologi

Oleh :
Dani Satria, 1006707974

Jurnal 1
Quasi-Experimental Price Elasticities of Cigarette Demand and the Bootlegging Effect By Badi H. Baltagi and Rajeev K. Goel

Makalah ini dibuat untuk memperbaharui makalah kuasi eksperimental oleh Lyon dan Simon tentang kuasi eksperimen elastisitas harga rokok terhadap permintaan rokok dan studi terhadap sensitifitasnya terhadap perubahan pada pasar rokok dari waktu ke waktu serta sensitifitasnya terhadap efek penyelundupan.
Perkiraan elastisitas harga terhadap permintaan rokok sangatlah penting bagi para pembuat kebijakan dalam rangka mengukur efek pajak rokok dan dalam rangka mengurangi konsumsi dan memerangi rokok (Hamilton;Doron;Warner1 977, 1982;Lewit, Coate, and Grossman; Sumner and Wohlgenant; Baltagi and Levin). perkiraan elastisitas ini penting bagi pemerintah juga bagi pelaku industri sehingga penulis makalah ini menawarkan pendekatan alternatif yang belum pernah digunakan sebelumnya yaitu dengan menggunakan teknik kuasi eksperimen dalam mengukur elastisitas harga. secara singkat metode ini akan mengukur prosentase perubahan kuantitas permintaan pada suatau daerah tertentu sebelum dan setelah dikenai pajak dengan secara bersamaan mengontrol prosentase perubahan kuantitas pada daerah dimana tidak dikenai pajak.
Makalah ini memiliki dua signifikansi, yang pertama untuk memperbaharui penelitian kuasi eksperimental elastisitas permintaan rokok terhadap perubahan pajak dari tahun 1965 dan yang terpenting adalah mengukur sensitivitas metode ini dalam mengukur elastisitas terhadap efek penyelundupan.
Hasil dan kesimpulan dari makalah ini adalah adanya tren penurunan elastisitas dari waktu ke waktu dan adanya bias terhadap kenaikan ketika terjadi penyelundupan. Namun ketika kelompok pembandingnya diubah dengan mengikutsertakan wilayah bebas penyelundupan, perbedaannya dari waktu ke waktu dan antar kelompok menjadi tidak signifikan secara statistik.

Jurnal 2

What Can Police Do to Reduce Crime, Disorder, and Fear?
Author(s): David Weisburd and John E. Eck
Tujuan penelitian untuk: menguji efektivitas polisi untuk mengurangi kejahatan, gangguan, dan ketakutan dalam konteks  tipologi yang dilakuakan dalam praktik polisi. Juga membahas Orientasi permasalahan dalam kepolisian, tempat polisi akan bertindak.
Model yang dilakukan polisi dan inovasi terbaru dalam sebuah tipologi praktik polisi dalam model ini melihat bagaimana sebuah penekanan terhadap  kejahatan dengan model standar yang terlepas pada  tingkat, sifat dan variasi lain bentuk kejahatan tersebut. karena model tersebut memberikan tingkat umum dari layanan oleh polisi. Model standar ini merupakan aktivitas umum seperti yang biasanya dilakukan oleh polisi, model standar ini guna mengukur suatu keberhasilan dan apakah dapat memberi dampak besar terhadap umum.  Serta menjalankannya  melihat dari 2 sisi yakni strategi dalam mengandalkan penegakan hukum serta fokus atau sasaran kegiatan polisi. Dan terdapat 3 hal yang dominan dalam strategi menegakan hukum yakni; kebijakan publik, tempat kepolisian dan orientasi permasalahan dalam kepolisian. Sebenarnya menggunakan model standar ini membuat bagaimana polisi mempedulikan keselamatan masyarakatnya.
Selain itu juga perlunya evaluasi bukti dari pelaku sebagai kekuatan untuk menunjukan validnya kesalahan yang dilakukan seorang pelaku. Serta menghindarkan tuntutan akibat hanya adanya presdiksi akibat dan sebab.
Selain itu dijelaskan pula 5  strategi luas yang menjadi fokus untuk mencegah permasalahan kejahatan dalam kepolisian, gangguan serta ketakutan terhadap kejahatan
1.      Menambah kapasitas lembaga kepolisian
2.      Patroli secara acak di seluruh bagian masyarakat
3.      Menanggapi panggilan sebagai sebuah layanan
4.      Penerapan tindakan lanjut penyelidikan kejahatan
5.      Adanya intensif penangkapan
Kesimpulan :
Praktek Polisi telah berpusat pada standar strategi yang mengandalkan
pada kekuatan koersif polisi.
dan terdapat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa
model standar kepolisian
ini akan menyebabkan masyarakat merasakan lebih aman karena kehadiran polisi yang dekat dengan masyarakat itus sendiri, dan menunkjukan, penelitian ilmiah yang mengatakan model seperti ini dianggap terdapat gangguan kontrol dalam masyarakat adalah salah.  Pada intinya masyarakat merasa aman dengan adanya model tersebut namun tak menutup kemungkinan tetap terjadinya kejahatan dalam masyarakat tersebut dan polisi berjanji akan mengurangi kejahatan , gangguan dan ketakutan masyarakat terhadap kejahatan.


Analisis Isi Kasus Korupsi dalam VivaNews.com


 Periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012

Metode Penelitian Kriminologi





Oleh :
Hardiat Dani Satria, 1006707974
Harris Kristanto, 1006707993
Muhammad Ibnu Azhar Nasmit, 1006708112

Departemen Kriminologi – Paralel
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Kehidupan sehari-hari kita membutuhkan adanya informasi yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan yang terjadi di luar sana. Saat ini informasi menjadi suatu hal yang menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Kegiatan apapun yang akan kita lakukan banyak yang membutuhkan referensi dari adanya informasi. Salah satu sumber informasi massal yang ada di masyarakat antara lain media massa cetak dan media massa elektronik.[1] Keduanya pun memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuk pengemasan beritanya. Berita pada media cetak dijual dan sebagian orang berlangganan, sedangkan media massa elektronik sebagian besar gratis dan cara mengaksesnya pun menggunakan alat elektronik.
Berita yang dimuat dalam media cetak tersebut mengandung perspektif yang diinginkan oleh berita tersebut. Bahkan, perspektif tersebut dapat menjadi bahan politisasi oleh pemilik media massa tersebut untuk mempengaruhi pembacanya.[2] Maka dari itu, kajian untuk penelitian mengenai konten dalam media massa dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebuah media memberitakan suatu kejadian yang ada dalam masyarakat.
Konten dalam media massa sangatlah beragam. Konten yang menjadi bahan kajian kami saat ini adalah masalah korupsi yang akan kami analisis isinya. Hal yang melatarbelakangi penelitian kami adalah sebuah penelitian untuk mengetahui seberapa besar intensitas suatu media dalam memberitakan berita korupsi. Setelah itu, kami akan mencari tahu tentang apa yang sebagian besar korupsi terjadi dan siaapa korupsi tersebut dilakukan beserta besarnya jumlah korupsi.
Media massa seringkali terlihat menekankan pada isu korupsi tertentu, dan hal ini biasanya merupakan perspektif media yang akan diinformasikan kepada pembaca agar semua orang mengetahui. Korupsi yang diberitakan oleh media menyediakan unsur-unsur yang dianggap ‘menjual’ bagi media, selain itu juga sarat oleh nilai politis bagi media tersebut. Setiap media pasti memiliki ciri khas berita korupsi tertentu yang menggambarkan sorotan utama.[3]
Peneliti FFH Dian Permata mengungkapkan, kasus yang marak terjadi di media massa pada tahun 2011 yaitu kasus korupsi. Itu ditandai dengan diketemukannya kasus tersebut di surat kabar, tv, dan online.  Riset itu dilakukan 17 Maret hingga 31 Desember 2011. Data riset bersumber dari 43300 materi publikasi dari 11 surat kabar, enam (6) televisi, dan tujuh (7) media online.[4]
Riset menggunakan metodologi purposive sampling. Locus riset terhadap berita tematik dan berdasarkan kategori politik, hukum, dan ekonomi. Sutrat kabar yang dipilih berskala nasional. 11 surat kabar itu yakni Bisnis Indonesia 880 artikel (5 %), Indo Pos 1602 artikel (9 %), Kompas 2672 artikel (15 %), Koran tempo 2545 artikel (14 %), Media Indonesia 2762 artikel (15 %), Rakyat Merdeka 1745 artikel (10 %), Republika 1653 artikel (9 %), Seputar Indonesia 2272 artikel (13 %), Sinar Harapan 218 artikel (1 %), Suara Pembaruan 260 artikel (1 %), dan The Jakarta Post 1393 artikel (8 %).[5]
Terdapat 5588 buah dari tayangan publikasi televisi. TV One ada 435 tayangan berita (8 %). RCTI 1293 tayangan berita (23 %). SCTV 1156 tayangan berita 1156 (21 %). Metro TV 1206 tayangan berita (22 %). Trans TV 505 tayangan berita  (9 %) . Trans 7 348 tayangan berita (6 %) . AN TV 645 tayangan berita (11 %). 19710 buah dari artikel online. Antara.com ada 3045 artikel (15 %). Detik.com 4374 artikel (22 %). Inilah.com 289 artikel (2 %). Kompas.com 3149 artikel (16 %). Tempo.co 2863 artikel (15 %). Okezone.com 2966 artikel (15  %). VIVANews.com 3024 artikel (15 %).[6]
Dalam hal ini, menurut data statistik yang dilakukan KPK, media VivaNews menjelaskan bahwa terdapat 68 kasus atau perkara penyidikan dan 5 kasus diantaranya dilimpahkan ke kepolisian dan kejaksaan. Sebanyak 29 kasus atau perkara dalam tahap penyidikan, yang terdiri atas 8 kasus atau perkara sisa tahun 2006 dan 21 kasus atau perkara penyidikan tahun 2007. Sebanyak 24 kasus atau perkara dalam tahap penuntutan yang terdiri atas 10 kasus atau perkara sisa 2006 dan 14 kasus atau perkara tahun 2007, dan sebanyak 21 kasus atau perkara yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap.[7]
VivaNews sampai saat ini gencar memberitakan tentang korupsi. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian kami untuk menganalisis isi berita VivaNews pada periode dua minggu terakhir. Penelitian yang kami lakukan adalah berita di VivaNews dari tanggal 5 Maret 2012 sampai tanggal 20 Maret 2012. Pada periode ini, kelompok kami akan menganalisa sebagian besar kasus korupsi apakah yang marak terjadi dan oleh siapa kasus itu terjadi. Dengan mendapatkan hasil analisis isi dan dikaitkan dengan teori tentang white-collar crime akan didapatkan kesimpulan penelitian tentang penyebab kasus korupsi berdasarkan teori tersebut.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan pemberitaan mengenai peneliti FFH Dian Permata, mengungkapkan bahwa kasus yang marak terjadi di media massa pada tahun 2011 yaitu korupsi. Dengan demikian, kita dapat mencari tahu analisa mengapa permasalahan korupsi banyak diberitakan di media massa. Dalam hal ini, kami menggunakan media massa VivaNews sebagai bahan penelitian, karena media ini juga mempunyai banyak pemberitaan tentang korupsi.
Selain itu, pemberitaan korupsi yang marak yang menempati posisi pertama pemberitaan kejahatan nasional merupakan bukti kuat bahwa ada alasan tertentu tentang korupsi. Hal inilah yang mendasari mengapa kejahatan konvensional lainnya masih kalah rating dengan kasus korupsi ataukah korupsi memang kejahatan yang paling marak di Indonesia.
1.3 Pertanyaan Penelitian
·         Kasus kejahatan korupsi jenis apa yang sering diberitakan oleh VivaNews pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012?
·         Apa yang menyebabkan kejahatan korupsi tersebut marak diberitakan pada VivaNews?
·         Faktor-faktor apa sajakah yang membuat fenomena korupsi tersebut dapat tumbuh subur di Indonesia berdasarkan kasus pada VivaNews?
1.4 Tujuan Penelitian
Signifikansi Praktis
·         Mencari tahu jenis korupsi yang paling banyak diberitakan oleh VivaNews pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012.
·         Mencari tahu penyebab korupsi marak diberitakan pada VivaNews.
Signifikansi Akademis
·         Menambah kajian tentang korupsi beserta faktor penyebabnya berdasarkan kasus pada VivaNews.











BAB II
Kajian Kepustakaan
2.1 Jurnal Internasional
Menurut jurnal Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures disebutkan bahwa catatan peristiwa korupsi sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu di India. Penyebab korupsi adalah kekuasaan oleh sebuah pemerintahan yang otoriter dengan rakyat yang tidak memiliki kuasa terhadap pemerintahan. Hal ini mengakibatkan korupsi menjadi budaya pemerintahan, atau orang yang berkuasa dan imbasnya orang menjadi terpengaruh karenanya. Ruang lingkup korupsi tidak sebatas pada pemerintahan saja, dalam perjanjian bisnis juga terdapat manipulasi yang berujung pada korupsi. Cara mengembalikan korupsi sangat sulit dilakukan, bahkan dengan demokrasi pun tetap saja terdapat korupsi.[8]
Dalam jurnal Political Institutions and Corruption: The Role of Unitarism and Parliamentarism menjelaskan bahwa dunia perpolitikan menyumbang sebagian besar kasus korupsi di dunia. Institusi perpolitikan akan memiliki kuasa untuk melakukan korupsi dalam pemerintahan atau proyek-proyeknya. Media massa juga gencar melipun kegiatan perpolitikan yang menyimpang seperti korupsi, untuk tujuan menjatuhkan patai politik tersebut. Media massa akan memberitakan kasus korupsi partai politik agar masyarakat tidak mendukung partai politik yang diberitakan tersebut. Institusi politik rawan akan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme.[9]
Berdasarkan jurnal Market Reforms and Corruption in Latin America: New Means for Old Ways disebutkan bahwa penyebab kemiskinan di Amerika Latin adalah akibat korupsi oleh para korporat. Jenis korupsi dalam perdaganan marak terjadi di Amerika Latin, seperti kapitalisme dan eksploitasi barang dan dijual dengan harga tinggi. Sedangkan, pengangguran yang ada sangatlah banyak, dan dipengaruhi harga pasar yang tinggi. Selain itu ditambah korupsi dalam perdagangan membuat kemiskinan sulit diatasi di Amerika Latin.[10]
Bersumber dari jurnal Popular Interpretation of 'Corruption' and their Partisan Consequences, menyebutkan bahwa korupsi yang sering digambarkan adalah dalam pemerintahan. Hal ini berarti, korupsi adalah suatu kejahatan dengan modus mengambil atau memanipulasi keuangan dengan profesionalitas yang pelaku miliki untuk mengelabui keuangan dan akhirnya didapatkannya demi keuntungan. Dalam hal ini, orang yang berprofesi dan dekat dengan masalah keuangan akan beresiko besar terkena korupsi.[11]
Menurut jurnal Corruption and the Role of Information menyatakan bahwa pemberitaan korupsi semakin gencar adalah pengaruh kebutuhan akan pemirsa yang selalu menaikkan rating acara ketika berita korupsi ditayangkan. Selain itu, dari sisi pemerintahan juga sangat mempengaruhi penayanagan berita dikarenakan pemerintah memiliki agenda dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, hal ini mengakibatkan dua pemberitaan yang berbeda. Pertama, media akan memberitakan selesainya kasus penanganan korupsi karena pemerintah gencar dalam memberantas korupsi. Kedua, pemerintah gagal dalam nmenegakkan hukum dan gagal dalam memberantas korupsi, buktinya banyak berita korupsi yang marak diberitakan.[12]
Jurnal Corruption and Trust: Exceptionalism in Asian Democracies? menjelaskan bahwa di Asia, dengan adanya demokrasi tidaklah membuat korupsi hilang dari masyarakat. Masih adanya sistim demokrasi pun, korupsi masih tetap ada. Sebelumnya, sistim yang otoriter yang di dalamnya terdapat banyak praktik korupsi juga. Dengan demikian, dibutuhkan solusi yang mendasar agar korupsi hilang.[13]
Berdasarkan jurnal Perceptions of Country Corruption: Antecedents and Outcomes adalah bahwa korupsi subur dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga yang ditangani oleh birokrat memang sangat rentan dalam korupsi. Hasil dari korupsi yang dilakukan oleh pemerintah inilah yang akan menyengsarakan rakyat dan imbasnya kepada perekonomian juga. Perpajakan yang ditangani oleh profesional masyarakat juga mengalami korupsi dan terhambatnya pembangunan serta sulitnya perkembangan lapangan kerja.[14]
Dalam jurnal Private-to-Private Corruption disebutkan bahwa dalam bisnis, interaksi antara orang dengan orang yang saling menguntungkan dalam maksud untuk melakukan manipulasi dalam perjanjian bisnis sebagian besar akan terjadi korupsi. Korupsi privat ini biasanya terjadi dalam kasus penipuan dan pemanipulasian keuangan untuk mendapatkan keuntungan. Pola interaksi korupsi ini terjadi karena profesional-profesional dan klien-profesional. Dan biasanya terjadi dalam penipuan perjanjian yang disahkan oleh institusi legal.[15]
Berdasarkan jurnal Corruption dikatakan bahwa untuk memberantas korupsi, diperlukan pendidikan secara mendasar untuk masyarakat. Pendidikan secara dini ini bertujuan untuk meningkatkan kejujurtan karena korupsi merupakan suatu hal yang buruk. Pengembangan masyarakat ini diperlukan agar kondisi korupsi tidak menbudaya ke generasi selanjutnya, dikarenakan generasi selanjutnya merupakan kunci utama untuk tidak adanya korupsi.[16]
Menurut jurnal Public Sector Corruption and Major Earthquakes: A Potentially Deadly Interaction menyatakan bahwa sektor bantuan kepada bencana alam paling sering dilakukan korupsi. Bantuan bagi korban bencana alam tidaklah didata dengan cermat, melainkan kumpulan dari sukarela masyarakat yang ingin menyalurkan donasinya. Pendataan akan sulit dikarenakan berbagai pihak ikut melakukan batuan secara material dan secara sukarela dalam pemberiannya. Jadi, sektor publik jenis ini paling banyak praktik korupsi bantuan material.[17]
Menurut jurnal Empirical Determinants of Corruption: A Sensitivity Analysis dikatakan bahwa penyebab korupsi dikarenakan budaya yang timbul dalam lembaga yang terindikasi korupsi. Selain itu, dampak moral dari korupsi tidaklah diketahui bagi pelaku korupsi. Selanjutnya, penegakan hukum bagi pelaku korupsi sebagian besar diselesaikan dengan cara administratif, bukan pidana yang memberatkan.[18]
Menurut jurnal Measuring Public Corruption in the American States: A Survey of State House Reporters dijelaskan bahwa sebagian besar penyiaran tentang korupsi terjadi pada ranah korporasi. Pada skala birokrat, penyiaran cenderung sedikit. Hal ini dikarenakan persaingan bebas dalam pasar seringkali menciptakan situasi yang menghalalkan segala cara, sehingga korupsi memang subur terjadi.[19]
Dalam jurnal Controlling the Chinese Media: An Uncertain Business disebutkan bahwa pemberitaan media tentang maraknya korupsi sangatlah mempengaruhi masyarakat untuk terjun ke ranah pemerintahan dan bisnis yang besar. Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap pemerintahan dan bisnis yang dikelola oleh negara, dikarenakan mereka sangat beresiko terkena korupsi dan pada akhirnya pelaku korupsi akan dihukum berat.[20]
2.2 Kajian Teori
Korupsi merupakan kajian kriminologi yang masuk dalam kategori white-collar crime, lebih tepatnya pada tindakan mengambil atau memanipulasi uang dengan profesi resminya demi mendapatkan keuntungan. Sedangkan white-collar crime sendiri merupakan kajian dalam kriminologi yang membahas tentang kejahatan yang dilakukan pada orang dengan tingkat ekonomi mapan. Berbeda dengan kejahatan konvensioal yang sebagian besar dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah. Jenis kejahatan yang dilakukan dalam white-collar crime juga berbeda dengan kejahatan konvensional.[21]
Secara tipologis berdasarkan atas pelakunya, maka secara garis besar white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu dan kejahatan yang dilakukan oleh organisasi. Pelaku individu masih dapat dipilah-pilah lagi menurut kodrat pekerjaannya menjadi (1) white-collar crime tipe individual occupation, yaitu orang-orang yang terhormat yang bekerja pada orang lain dan menduduki jabatan manajerial berbagai jenjang; (2) white-collar crime tipe individual bereaucracy, yaitu para pegawai negeri atau birokrat yang menduduki jabatan struktural pemerintahan dalam berbagai jenjang maupun kekuasaan (eksekutif, legislatif, judikatif); (3) white-collar crime tipe individual profession, yaitu kaum profesional seperti dokter, dokter gigi, apoteker, pengacara, akuntan, yang melakukan kejahatan terkait dengan profesinya. Sedangkan white-collar crime yang dilakukan oleh organisasi dapat dirinci menjadi (1) corporate crime; dan (2) governmental crime.[22]
Pola white-collar crime di Indonesia yang ditengarai oleh Mustofa (2010) diwarnai terutama oleh adanya persekongkolan antara birokrat dengan korporat. Korban dari kejahatan yang dilakukan oleh birokrat dan korporat tersebut terutama adalah negara. Berdasarkan realitas tersebut, maka tipe kejahatan yang terutama merugikan keuangan negara dapat disebut sebagai kleptokrasi.[23]
2.3 Definisi Konseptual
White-collar crime adalah kasus kejahatan yang memiliki ciri pelaku dengan orang kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. (Sutherland, 1949: 9)
Pelaku korupsi dalam pemerintahan merupakan tipe white-collar crime kategori individual bereaucracy.
Korupsi yang dilakukan oleh korporat merupakan tipe white-collar crime kategori corporate crime.
Korupsi yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam bidang keahlian resminya merupakan tipe white-collar crime kategori individual profession.
Korupsi adalah adalah tindakan yang termasuk dalam penipuan, penyuapan, merugikan keuangan negara, penggelapan, pemerasan dalam jabatan, pemborongan dan gratifikasi.
Media massa adalah sumber informasi dalam bentuk cetak maupun elektronik yang berisi tentang berita-berita untuk masyarakat.
Analisis isi atau content analysis adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa.

BAB III
Metode Penelitian

Terdapat beberapa tahapan dalam penelitian analisis isi
1.      Penetapan media
2.      Pencarian data pokok yang akan diteliti
3.      Menganalisa data dan melakukan kajian data
4.      Membuat pertanyaan penelitian dan hipotesisnya
5.      Melakukan sampling terhadap sumber-sumber data yang telah dipilih
6.      Pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis
7.      Pendataan suatu sampel dokumen yang telah dipilih dan melakukan pengkodean
8.      Pembuatan skala dan bagan berdasarkan kriteria tertentu untuk pengumpulan data
9.      Interpretasi atau penafisran data diperoleh
Secara praktis yang sesuai dengan penelitian yang kami lakukan, antara lain
1.      Menentukan media massa yang kami gunakan, dalam hal ini yang menjadi media massa penelitian kami adalah VivaNews
2.      Selanjutnya menentukan samplingnya, yaitu kami membuat sampling media pada VivaNewsnya pada tanggal 5 Maret 2012 – 20 maret 2012
3.      Menentuka pokok bahasan pada berita dalam rentang wangtu 15 hari tersebut adalah tentang berita korupsi
4.      Membuat kategori yang akan dianalisis. Pada hal ini kategori kami untuk pengkodean adalah tentang jenis kelamin, jumlah hasil korupsi, jumlah pelaku, status pelaku, dan jabatan pelaku
5.      Kemudian adalah membuat analisa menggunakan SPSS dengan data univariat saja untuk mengukur seberapa besar dari kategori-kategori yang telah kami tetapkan
6.      Menentukan teori yang dapat menjelaskan tentang korupsi, sesuai dengan hasil analisis yang didapatkan
7.      Mengaitkan antara hasil analisis dengan teori
8.      Menjawab tentang pertanyaan penelitian
9.      Memberikan kesimpulan dari hasil analisa tersebut

BAB IV
Analisis Data
Tabel 3.1 Jenis Kelamin

Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
laki-laki
25
83.3
83.3
83.3
Perempuan
2
6.7
6.7
90.0
Campuran
3
10.0
10.0
100.0
Total
30
100.0
100.0

Sumber Data : Output SPSS
Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kasus korupsi pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012 dengan kategori jenis kelamin pelaku korupsi dihasilkan: mayoritas pelaku korupsi berjenis kelamin laki-laki, dengan persentase sebesar 83.3 % atau dengan jumlah 25 kasus. Sedangkan sisanya adalah perempuan yaitu sebesar 6.7 % atau dalam 2 kasus. Terdapat alam suatu kasus yang pelakunya tersebut campuran laki-laki dan perempuan yaitu dengan persentase sebesar 10 % atau dalam jumlah 3 kasus.
Tabel 3.2 Jumlah Hasil Korupsi

Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
< 1 Miliar
   6
20.0
20.0
20.0

1 - 50 miliar
  11
36.7
36.7
56.7

50 - 100 miliar
   6
20.0
20.0
76.7

> 100 miliar
   7
23.3
23.3
100.0

Total
   30
100.0
100.0

Sumber Data : Output SPSS

Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kasus korupsi pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012 dengan kategori jumlah hasil korupsi, dihasilkan: mayoritas hasil korupsi berkisar antara 1-50 miliar atau sebesar 36.7% dengan pembertiaan sebanyak 11 kali. Selanjutnya diikuti oleh hasil korupsi yang >100 miliar atau sebesar 23.3% dengan pemberitaan sebanyak 7 kali. Sedangkan sisanya adalah hasil korupsi berkisar <1 miliar dan hasil korupsi berkisar 50-100 miliar atau sebesar 20% dengan pemberitaan masing-masing sebanyak 6 kali.
Tabel 3.3 Jumlah  Pelaku

Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Perorangan
19
63.3
63.3
63.3

Kelompok
11
36.7
36.7
100.0

Total
30
100.0
100.0

Sumber Data :Output SPSS

Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kasus korupsi pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012 dengan kategori jumlah pelaku, dihasilkan: mayoritas kasus korupsi tersebut dilakukan perorangan dengan persentase 63.3% atau diberitakan sebanyak 19 kali. Sedangkan sisanya, dilakukan oleh kelompok dengan persentase 36.7% atau diberitakan sebanyak 11 kali. Sesuai dengan teori white-collar crime tipe individual profession, diketahui bahwa sebagian besar kasus ini dilakukan perorangan.

Tabel 3.4 Status Pelaku

Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tersangka
19
63.3
63.3
63.3

Terdakwa
11
36.7
36.7
100.0

Total
30
100.0
100.0

Sumber Data : Output SPSS
Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kasus korupsi pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012 dengan kategori status pelaku, dihasilkan bahwa mayoritas pelaku korupsi dalam status tersangka dengan persentase 63.3% atau sebanyak 19 kali pemberitaan. Sisanya adalah status terdakwa dengan persentase 36.7% atau sebanyak 11 kali pemberitaan.

Tabel 3.5 Jabatan

Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Perusahaan
5
16.7
16.7
16.7

Pemerintahan
25
83.3
83.3
100.0

Total
30
100.0
100.0

Sumber Data : Output SPSS
Berdasarkan hasil analisis isi terhadap kasus korupsi pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012 dengan kategori jabatan pelaku, mayoritas adalah jabatan dalam pemerintahan dengan persentase 83.3% atau sebanyak 25 kali pemberitaan. Sisanya adalah jabatan dalam perusahaan dengan persentase 16.7% atau sebanyak 5 kali pemberitaan. Sesuai dengan teori white-collar crime, bahwa sebagian besar kasus adalah individual bereaucracy, yaitu para pegawai negeri atau birokrat yang menduduki jabatan struktural pemerintahan dalam berbagai jenjang maupun kekuasaan (eksekutif, legislatif, judikatif).
Diagram Lingkaran
Sama seperti tabel outpus SPSS di atas, diagram lingkaran ini menjelaskan tentang jenis kelamin pelaku korupsi pada pemberitaan VivaNews periode 5 Maret 2012-20 Maret 2012.
Sama seperti tabel outpus SPSS di atas, diagram lingkaran ini menjelaskan tentang jumlah korupsi pada pemberitaan VivaNews periode 5 Maret 2012-20 Maret 2012.
Sama seperti tabel outpus SPSS di atas, diagram lingkaran ini menjelaskan tentang jumlah pelaku korupsi pada pemberitaan VivaNews periode 5 Maret 2012-20 Maret 2012.

Sama seperti tabel outpus SPSS di atas, diagram lingkaran ini menjelaskan tentang status pelaku korupsi pada pemberitaan VivaNews periode 5 Maret 2012-20 Maret 2012.
Sama seperti tabel outpus SPSS di atas, diagram lingkaran ini menjelaskan tentang jabatan pelaku korupsi pada pemberitaan VivaNews periode 5 Maret 2012-20 Maret 2012.
Analisa Kasus
Kasus kejahatan korupsi jenis individual bereaucracy dalam tipologi white-collar crime yang paling banyak diberitakan oleh VivaNews pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012. Persentase pemberitaannya sebesar 83.3% atau sebanyak 25 kali. Selanjutnya, 17.7%  tersebut adalah jenis korupsi yang dilakukan oleh korporasi atau pemberitaan sebanyak 5 kali.
Sesuai dengan jurnal Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cure, pemerintahan yang otoriter dengan rakyat yang tidak memiliki kuasa terhadap pemerintahan. Hal ini mengakibatkan korupsi menjadi budaya pemerintahan, atau orang yang berkuasa dan imbasnya orang menjadi terpengaruh karenanya. Ruang lingkup korupsi tidak sebatas pada pemerintahan saja, dalam perjanjian bisnis juga terdapat manipulasi yang berujung pada korupsi. Hal tersebut yang mempengaruhi sektor pemerintahan yang paling banyak terjadi praktik korupsinya. Sama seperti hasil analisa data yang menyatakan bahwa disamping di sektor pemerintahan, sektor bisnis (korporasi) juga menjadi lahan subur bagi korupsi.
Alasan VivaNews memberitakan korupsi, menurut jurnal Political Institutions and Corruption: The Role of Unitarism and Parliamentarism menjelaskan bahwa dunia perpolitikan menyumbang sebagian besar kasus korupsi di dunia. Institusi perpolitikan akan memiliki kuasa untuk melakukan korupsi dalam pemerintahan atau proyek-proyeknya. Media massa juga gencar melipun kegiatan perpolitikan yang menyimpang seperti korupsi, untuk tujuan menjatuhkan patai politik tersebut. Media massa akan memberitakan kasus korupsi partai politik agar masyarakat tidak mendukung partai politik yang diberitakan tersebut. Institusi politik rawan akan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Alasan penyebab di Indonesia tumbuh subur korupsi, menurut jurnal Perceptions of Country Corruption: Antecedents and Outcomes adalah bahwa korupsi subur dalam pemerintahan. Lembaga-lembaga yang ditangani oleh birokrat memang sangat rentan dalam korupsi. Hasil dari korupsi yang dilakukan oleh pemerintah inilah yang akan menyengsarakan rakyat dan imbasnya kepada perekonomian juga. Selain itu, menurut jurnal Empirical Determinants of Corruption: A Sensitivity Analysis dikatakan bahwa penyebab korupsi dikarenakan budaya yang timbul dalam lembaga yang terindikasi korupsi. Selain itu, dampak moral dari korupsi tidaklah diketahui bagi pelaku korupsi. Selanjutnya, penegakan hukum bagi pelaku korupsi sebagian besar diselesaikan dengan cara administratif, bukan pidana yang memberatkan.
BAB V
Penutup
Kesimpulan
Kasus kejahatan korupsi jenis individual bereaucracy dalam tipologi white-collar crime yang paling banyak diberitakan oleh VivaNews pada periode 5 Maret 2012 – 20 Maret 2012. Ruang lingkup korupsi tidak sebatas pada pemerintahan saja, dalam perjanjian bisnis juga terdapat manipulasi yang berujung pada korupsi. Hal tersebut yang mempengaruhi sektor pemerintahan yang paling banyak terjadi praktik korupsinya. Sama seperti hasil analisa data yang menyatakan bahwa disamping di sektor pemerintahan, sektor bisnis (korporasi) juga menjadi lahan subur bagi korupsi.
Media massa juga gencar melipun kegiatan perpolitikan yang menyimpang seperti korupsi, untuk tujuan menjatuhkan patai politik tersebut. Media massa akan memberitakan kasus korupsi partai politik agar masyarakat tidak mendukung partai politik yang diberitakan tersebut.
Penyebab korupsi dikarenakan budaya yang timbul dalam lembaga yang terindikasi korupsi. Selain itu, dampak moral dari korupsi tidaklah diketahui bagi pelaku korupsi. Selanjutnya, penegakan hukum bagi pelaku korupsi sebagian besar diselesaikan dengan cara administratif, bukan pidana yang memberatkan.

Daftar Pustaka
Buku
·         Mustofa, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Kriminologi. Depok : Fisip UI Press
·         Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi. Depok : Sari Ilmu Pratama
·         Mustofa, Muhammad. 2010. Kleptokrasi. Jakarta : Kencana
·         Anwar, Yesmil dan Adang. 2010. Kriminologi. Bandung : Refika Aditama
Jurnal Internasional
·         Tanzi, Vito. Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. Staff Papers - International Monetary Fund, Vol. 45, No. 4 (Dec., 1998), pp. 559-594
·         Gerring, John and Thacker, Storm C. Political Institutions and Corruption: The Role of Unitarism and Parliamentarism. British Journal of Political Science, Vol. 34, No. 2 (Apr., 2004), pp. 295-330
·         Manzetti, Luigi and Blake, Charles H. Market Reforms and Corruption in Latin America: New Means for Old Ways. Review of International Political Economy, Vol. 3, No. 4 (Winter, 1996), pp. 662-697
·         Redlawsk, David P, and McCann, James A. Popular Interpretation of 'Corruption' and their Partisan Consequences. Political Behavior, Vol. 27, No. 3 (Sep., 2005), pp. 261-283
·         DiRienzo, Cassandra E, Das, Jayoti, Cort, Kathryn T. Corruption and the Role of Information. Journal of International Business Studies, Vol. 38, No. 2 (Mar., 2007), pp. 320-332
·         Chang, Eric C C and Chu, Yun-han. Corruption and Trust: Exceptionalism in Asian Democracies?. The Journal of Politics, Vol. 68, No. 2 (May, 2006), pp. 259-271
·         Davis, James H and Ruhe, John A. Perceptions of Country Corruption: Antecedents and Outcomes. Journal of Business Ethics, Vol. 43, No. 4 (Apr., 2003), pp. 275-288
·         Argonda, Antonio. Private-to-Private Corruption. Journal of Business Ethics, Vol. 47, No. 3 (Oct., 2003), pp. 253-267
·         Harrison, Elizabeth. Corruption. Development in Practice, Vol. 17, No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 672-678
·         Escaleras, Monica, Anbarci, Nejat, and Register, Charles A. Public Sector Corruption and Major Earthquakes: A Potentially Deadly Interaction. Public Choice, Vol. 132, No. 1/2 (Jul., 2007), pp. 209-230
·         Serra, Danila. Empirical Determinants of Corruption: A Sensitivity Analysis. Public Choice, Vol. 126, No. 1/2 (Jan., 2006), pp. 225-256
·         Boylan, Richard T and Long, Cheryl X. Measuring Public Corruption in the American States: A Survey of State House Reporters. State Politics & Policy Quarterly, Vol. 3, No. 4 (Winter, 2003), pp. 420-438
·         Hassid, Jonathan. Controlling the Chinese Media: An Uncertain Business. Asian Survey, Vol. 48, No. 3 (May/June 2008), pp. 414-430
Sumber Internet
·         http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27843/5/Chapter%20I.pdf diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:47 WIB
·         www.balitbang.depkominfo.go.id diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:50 WIB
·         http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=1 diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:52 WIB
·         http://beritamanado.com/berita-utama/partai-demokrat-jangan-jadi-beban-sby/81745/ diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:36 WIB
·         http://www.kpk.go.id/ diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:36 WIB



[1] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27843/5/Chapter%20I.pdf diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:47 WIB
[2]www.balitbang.depkominfo.go.id diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:50 WIB
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] http://www.kpk.go.id/ diakses pada tanggal 7 April 2012, pukul 15:36 WIB
[8] Tanzi, Vito. Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. Staff Papers - International Monetary Fund, Vol. 45, No. 4 (Dec., 1998), pp. 559-594
[9] Gerring, John and Thacker, Storm C. Political Institutions and Corruption: The Role of Unitarism and Parliamentarism. British Journal of Political Science, Vol. 34, No. 2 (Apr., 2004), pp. 295-330

[10] Manzetti, Luigi and Blake, Charles H. Market Reforms and Corruption in Latin America: New Means for Old Ways. Review of International Political Economy, Vol. 3, No. 4 (Winter, 1996), pp. 662-697
[11] Redlawsk, David P, and McCann, James A. Popular Interpretation of 'Corruption' and their Partisan Consequences. Political Behavior, Vol. 27, No. 3 (Sep., 2005), pp. 261-283
[12] DiRienzo, Cassandra E, Das, Jayoti, Cort, Kathryn T. Corruption and the Role of Information. Journal of International Business Studies, Vol. 38, No. 2 (Mar., 2007), pp. 320-332
[13] Chang, Eric C C and Chu, Yun-han. Corruption and Trust: Exceptionalism in Asian Democracies?. The Journal of Politics, Vol. 68, No. 2 (May, 2006), pp. 259-271
[14] Davis, James H and Ruhe, John A. Perceptions of Country Corruption: Antecedents and Outcomes. Journal of Business Ethics, Vol. 43, No. 4 (Apr., 2003), pp. 275-288

[15] Argonda, Antonio. Private-to-Private Corruption. Journal of Business Ethics, Vol. 47, No. 3 (Oct., 2003), pp. 253-267
[16] Harrison, Elizabeth. Corruption. Development in Practice, Vol. 17, No. 4/5 (Aug., 2007), pp. 672-678
[17] Escaleras, Monica, Anbarci, Nejat, and Register, Charles A. Public Sector Corruption and Major Earthquakes: A Potentially Deadly Interaction. Public Choice, Vol. 132, No. 1/2 (Jul., 2007), pp. 209-230
[18] Serra, Danila. Empirical Determinants of Corruption: A Sensitivity Analysis. Public Choice, Vol. 126, No. 1/2 (Jan., 2006), pp. 225-256
[19] Boylan, Richard T and Long, Cheryl X. Measuring Public Corruption in the American States: A Survey of State House Reporters. State Politics & Policy Quarterly, Vol. 3, No. 4 (Winter, 2003), pp. 420-438

[20] Hassid, Jonathan. Controlling the Chinese Media: An Uncertain Business. Asian Survey, Vol. 48, No. 3 (May/June 2008), pp. 414-430
[21] Mustofa, Muhammad. 2010. Kleptokrasi. Jakarta : Kencana
[22] Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi. Depok : Sari Ilmu Pratama
[23] Ibid.