Monday, 10 September 2012
Penolakan terhadap Front Pembela Islam (FPI) pada dasarnya
sudah sangat lama terdengar di masyarakat kita, tetapi munculnya aksi
“Indonesia Tanpa FPI” seakan-akan memberikan angin segar terhadap masyarakat
pemuja pluralitas.
Kita sepakat bahwa dasar dari ajaran agama adalah cinta
kasih saling memakmurkan. Hal ini juga yang menjadi pedoman munculnya dasar
negara kita. Gerakan politik yang dilakukan FPI merupakan bentuk kecil dari
fasisme. Menurut N Poulantzas, fasisme diakibatkan krisis ekonomi dan ideologi
dalam kelas penguasa. Penguasa memanfaatkan ini sebagai upaya mempertahankan
diri dari pendomplengan politik. Dalam kasus ini, awal mula terbentuknya FPI
akibat peran besar pemerintah.
Pemerintah mencari badan yang cukup merasuk ke masyarakat
dominan dengan alasan memiliki norma yang lebih besar. Pemerintah memanfaatkan
kekuatan agama dominan sebagai alat untuk menertibkan masyarakat. Dengan label agama
yang sakral, pemerintah dapat membuat situasi terkendali tanpa mengeluarkan
aparat yang menjadi citra dirinya. Masyarakat akan tertib apabila perlakuan
otoriter berada di bawah bendera klaim agama dominan. Dengan demikian,agama
dominan yang menjadi alat pemerintah untuk menertibkan masyarakat menjadi
kambing hitam.
Pada dasarnya sifat yang dilakukan pemerintah ini bersifat
otoriter terhadap masyarakat. Hal ini membuat agama yang dijadikan alat
pemerintah terlihat fasis. Padahal, tanpa label agama pun fasis tetaplah
fasis.Menurut teori fasis klasik oleh W Reich yang pemahamannya cukup relevan
dengan anarkisme, disebutkan bahwa fasisme diakibatkan oleh represi sekuel
dalam masyarakat yang otoriter dan terkekang. Ini mengindikasikan bahwa
pemerintah yang tidak dapat menertibkan masyarakat dengan aparatnya menggunakan
FPI sebagai alat pengganti aparat.
Masyarakat yang juga terkekang oleh regulasi rumit menjadi
korban dari penertiban yang dilakukan pemerintah. Akibat dari penggunaan FPI
sebagai aparat akan menimbulkan pertengkaran antaragama. Pertentangan ini
justru akan merusak hubungan harmonis yang seharusnya melumuri masyarakat kita
yang Bhinneka Tunggal Ika. Pemerintah yang menginginkan hasil secara instan
dengan menggunakan FPI justru akan menjadikan masalah baru yang lebih besar dan
rentang waktunya lama.
Fasis yang menjadi ideologi pemerintah tetaplah tidak dapat
mengharmoniskan masyarakat.Otoritas hanya akan menjadikan pelanggaran
nilai-nilai kemanusiaan.Jadi,dengan demikian kita setuju bahwa fasis yang baik
adalah fasis yang mati.
DANI SATRIA
Mahasiswa Departemen Kriminologi, FISIP Universitas
Indonesia
No comments:
Post a Comment