Monday, December 6, 2010

Preman Hukum

PARADIGMA “peraturan diciptakan untuk dilanggar” selalu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena sudah jenuh dengan aturan-aturan, manusia akan sebisa mungkin melanggarnya agar mendapatkan kepuasan emosi. Hal serupa berlaku pada semua elemen masyarakat, tanpa memandang status sosial.

Sifat emosional dalam mendapatkan kebebasan membuat manusia sulit diatur. Kita tahu bahwa “free man” merupakan cikal bakal munculnya istilah “Preman”, yakni manusia yang ingin selalu mendapatkan kebebasan. Dengan kata lain dia akan selalu melanggar hukum.

Bentuk dari pelanggaran hukum tidak semuanya berupa pertentangan yang nyata, akan tetapi dapat juga seperti lobi hukum, penyuapan, pemanipulasian, dan mencari celah yang ambigu dalam hukum untuk tindakan pelanggaran. Bila manusia ingin mempelajari hukum, maka urgensi yang utama berupa mencari celah agar dapat melancarkan aksi penyimpangan, bahkan kejahatan. Ini semua menandakan bahwa hukum diciptakan dengan banyak kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

Kalangan atas sangat memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya. Berhubung birokrasi negara ini sudah kacau, semakin mudah saja untuk menjebol aparat-aparat penegak hukum. Di sini, aparat penegak hukum hanya sebagai pajangan dan simbol bahwa hukum itu ‘kaku’. Namun, citra hukum yang tegas itu menjadi luntur lantaran aparat penegak hukum yang rakus dan tidak profesional.

Aparat yang dapat disuap oleh suatu oknum merupakan bukti nyata bahwa kerakusan dan kemiskinan meliputi manusia tersebut. Aparat yang selalu ingin uang lebih akan melakukan segala cara agar menambah penghasilannya. Meskipun tampak dari luar para aparat penegak hukum terlihat eksklusif dan kaya, namun di dalam dirinya terdapat pikiran yang selalu miskin. Sungguh, jiwa miskin yang terbungkus oleh gaya hidup mewah. Ini semua mematahkan sendi-sendi hukum dalam mengatur manusia.

Premanisme dalam hukum terlihat sebagai sisi lain hukum. Semua ini tergantung dari ketegasan aparat penegak hukum. Hukum adalah cerminan dari aparatnya sendiri. Sehingga, baik dan buruknya hukum bersumber pada tingkah laku para penegak hukum. Munculnya istilah ‘birokrasi bobrokisasi’ juga akibat dari kecacatan hukum akibat aparat.

Dunia hitam hukum muncul karena kegagalan konstitusi. Pada awalnya, kita sudah memberi “label” buruk pada aparat hukum. Menurut teori labelling, pemberian julukan dunia hukum sama dengan dunia hitam adalah penyebabnya. Aparat yang jujur dalam konstitusi akan terpengaruh untuk melakukan penyimpangan, akibat dari pemberian julukan. Sampai kapan pun, bila julukan sudah melekat, maka nilai buruk juga akan terus mengalir dalam darah konstitusi.

Bila dilihat kembali, akar permasalahan dari premanisme adalah sikap pola pikir yang merasa miskin. Sepanjang kemiskinan dan kebodohan belum diatasi, premanisme tetap tumbuh subur. Kemiskinan adalah sumber semua persoalan. Kita juga sering terkecoh dengan preman yang menggunakan otot dan kekuatan fisik. Akan tetapi ada preman lagi yang menggunakan otak, yang memiliki daya rusak luar biasa. Jenis preman ini menggunakan cara-cara yang canggih untuk melakukan kejahatan. Preman ini dilindungi oleh hukum, bahkan dapat mengendalikan hukum. Koruptor dan mafia hukum adalah mereka. Preman yang secara terselubung menggerogoti uang rakyat dan membunuh bangsa.

Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi
FISIP Universitas Indonesia

Siapapun (Ketua KPK) Itu

Senin, 6 Desember 2010 - 17:51 wib

Berita mengenai terbitnya Ketua KPK baru membuat polemik opini di masyarakat. Program yang akan dicanangkan oleh ketua baru tersebut bukan asal-asalan, melainkan sudah dipersiapkan dengan baik melalui proses diskusi yang panjang. Hanya saja, tinggal dalam mengambil keputusan final saja, kemampuan ketua KPK tersebut dapat diakui. Kriteria dalam proses seleksi sudah menunjukkan kapabilitas yang cukup sebagai seorang ketua. Jadi, agar kinerja kepemimpinannya dapat terlihat, kita hanya bisa mengamati terlebih dahulu serta berharap agar kesalahan-kesalahan konyol yang dilakukan pendahulunya tidak terulang kembali.

Pada dasarnya entah siapapun ketua KPK yang menjabat, selagi kita masih menganggap fenomena korupsi di Indonesia sebagai ‘budaya’, dalam istilah ‘budaya korupsi’ ini, tak ada artinya lagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi, bahkan hanya sebagai hiasan saja dalam pemerintahan. Mengenai istilah ‘budaya’ yang seringkali dengan entengnya disandingkan dengan ‘korupsi’ harus dibuang jauh-jauh dari benak masyarakat. Saatnya menerapkan ke otak masyarakat bahwa korupsi itu ‘bandit’ kelas kakap, penjahat intelek yang sangat berbahaya. Itu saja sebenarnya sudah bisa membuat pandangan masyarakat lebih geram terhadap korupsi, dibanding dengan istilah sebelumnya yang agak mentolerir kesalahan korupsi.

Dalam ranah hukum, proses peradilan terakhir berbentuk kurungan penjara. Apakah kurungan ini efektif? Tentu saja sangat tidak. Jika hanya hukuman kurungan setelah itu bebas beraksi, bagaikan melukis di atas air saja. Di negara kita, korupsi lebih ringan hukumannya daripada pembunuhan. Padahal, penyebab kekacauan sistim perekonomian serta hukum adalah uang. Uang yang mengatur segalanya. Uang dapat membeli apapun di negara kita yang serba kesulitan ini. Kalau memang begitu, bisa saja dengan uang yang sangat tinggi tersebut dapat mengendalikan lembaga pemberantas korupsi. Jika hal ini bisa terjadi, negeri ini sudah tidak ada aturan, segalanya bebas.

Kehadiran KPK dianggap sebagai kedatangan pahlawan bangsa dalam memberantas kerakusan. Ini sangat benar sesuai dengan tujuan dibentuknya KPK. Akan tetapi, hal ini akan tidak ada gunanya bila dalam kubu KPK sendiri banyak konflik yang mendera. KPK sudah sepatutnya bersinergi terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang masih jujur, meskipun sangat sulit. Kerena, kinerja KPK akan terhambat bila peristiwa seperti Cicak-Buaya kembali mencuat, sebuah pertikaian panjang karena sulitnya pergerakan lembaga yang masih muda.

Selama lembaga penegakan hukum masih terdapat kecacatan, proses penggabungan kekuatan akan terhenti. Pasalnya, KPK sendiri sebagai Junior akan dikerdilkan di hadapan seniornya. Jika pihak senior melanggar, akan membuat konflik yang menguras tenaga lagi agar hukum dapat ditegakkan. Itulah sebuah hambatan bagi lembaga yang baru saja terbentuk, power juga masih terbatas. Namun bisa diakui, niat dan tujuan sungguh idealisme yang sangat luar biasa.

Kitalah sebenarnya sebagai ketua KPK tersebut, untuk diri kita. Akar permasalahannya bukan menyalahkan orang lain, lalu kita aman. Mulailah dari diri sendiri, apakah diri kita ini sudah steril dari korupsi atau belum. Ketua KPK pastinya akan sangat kesulitan bila di setiap bagian dari manusia Indonesia memiliki potensi dan keinginan besar untuk berkorupsi.

Sebagai bangsa yang baik, kita sudah seharusnya belajar pada sejarah yang telah terjadi. Pemimpin terbaik adalah pemimpin yang dapat memimpin diri kita, yaitu diri sendiri. Diri kita mengatur perilaku kita agar berperilaku baik, itu saja sudah cukup. Kita tahu, tujuan KPK sangat brilian dan revolusioner. Patut dihargai dan didukung. Meskipun dengan keterbatasan kekuatan, ini akan menjadi langkah awal baru untuk perubahan.

Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia