Sunday, November 25, 2012

Definisi dan Jenis Konflik


Definisi Konflik
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.

Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).

Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).

Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)

Teori konflik
Konflik sosial mengasumsikan beragam bentuk. Kompetisi menunjukkan konflik atas kontrol sumber daya atau keuntungan yang dikehendaki pihak lain walaupun kekerasan fisik tidak terlibat. Kompetisi tertata adalah konflik damai yang diselesaikan melalui aturan-aturan yang disepakati. Sistim pasar melibatkan kompetisi, baik diatur maupun tidak. Konflik lain bisa jadi lebih keras dan tidak ditata; hanya pihak-pihak yang berkuasa yang mengatur.

Para ilmuwan sosial pada abad kesembilan belas dana wal dua puluh menaruh minat pada konflik dalam masyarakat. Namun para fungsionalis pertengahan abad kedua puluh menolak konflik dengan konsep unitary yang menekankan integrasi sosial dan efek harmoni nilai-nilai bersama. Walaupun memperhatikan konflik, mereka manganggap konflik sebagai patologis alih-alih sebagai keadaan organisme sosial yang sehat.

Beberapa sosiolog pada era 1950-an berusaha membangkitkan apa yang mereka sebut ‘teori konflik’ melawan dominasi fungsionalisme ketika itu dengan merujuk pada Marx dan Summel. Marx memberikan model dikotomi konflik sosial yang mana keseluruhan masyarakat dibagi atas dua kelas yang mewakili kepentingan modal dan tenaga kerja. Pada akhirnya, konflik akan mentransformasi masyarakat. Wlaaupun menekankan saliance konflik, Simmel mengambil baik model dikotomi maupun asumsi bahwa konflik pada akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial yang ada. Ia percaya bahwa konflik memiliki fungsi positif bagi stabilitas sosial dan membantu melestarikan kelompok atau kolektivitas L.Coser (1956, 1968) mengembangkan perspektif Simmel untuk menunjukkan bahwa konflik biasanya bersifat fungsional dalam masyarakat kompleks daan majemuk. Ia berpendapat bahwa konflik-konflik yang mana seseorang yang bersekutu dengan satu pihak merupakan lawan pihak lain, mencegah konflik bergerak dalam satu arah dan membagi masyarakat dalam garis dikotomi. Masyarakat kompleks memiliki kemajemukan kepentingan dan konflik yang menyediakan mekanisme penyeimbang yang mencegah ketidakstabilan. R. Dahrendorf (1959) juga menyimpulkan bahwa konflik bersifat berpotongan dan bukan bertindihan. Tidak seperti Marx, ia mengklain bahwa pusat konflik dalam semua institusi sosial berkenaan dengan distribusi kekuasaan dan wewenang alih-alih modal; dan adalah hubungan antara dominasi dan subordinasi yang membentuk kepentingan yang berlawanan. Ia berpendapat bahwa keberhasilan konflik industrial (industrial conflict) dalam ekonomi sehingga tidak melebar ke institusi lain, adalah penting dalm konteks ini.

D. Lockwood (1964) mengembangkan pembedaan, secara implisit di Marxism, antara konflik dan integrasi ‘sistem’ dan ‘konflik integrasi sosial’. Konflik sistem muncuk ketika institusi-institusi tidak harmonis, misalnya  ketika subsistem politik megupayakan kebijakan yang berkonflik dengan kebutuhan subsistem ekonomi. Konflik sosial bersifat antarpribaddi dan muncul hanya dalam interaksi sosial.

Dengan kemunduran fungsionalisme dan kebangkitan pendekatan sosiologi Marxis dan Weberian sejak 1970-an, perdebatan lawas tentang konflik dan konsensus (consensus) telah menghilang dari teori sosial. Konflik dan kerja sama di antara individu masih merupakan perhatian dalam game theory dan rational choice theory.

No comments: