Monday, November 22, 2010

Ketika "Dewi Keadilan" Tanpa Penutup Mata

BUKAN hal yang asing lagi di negeri ini tentang kasus mafia hukum. Kasus Gayus yang sedang marak ini menjadi pembuktian dan aktualisasi lemahnya kekuasaan hukum terhadap pelanggarnya. Kekuatan yang tidak dapat memaksa terdakwa dikarenakan kurang tegasnya para penegak hukum. Penegak hukum seperti inilah yang membuat cacat suatu keadilan dalam masyarakat, lantaran superego yang terbujuk nafsu.

Diperlukan suatu komitmen yang tinggi untuk penegak hukum, lantaran kinerja aparat sangat mengecewakan. Di ilmu etika profesi, hal yang dilakukan penegak hukum adalah tindakan ‘bodoh’ yang sangat tidak bertanggung jawab. Mereka telah membohongi serta memanipulasi hukum hanya dengan gratifikasi dari pelanggar hukum. Tindakan yang tidak mencerminkan aparat hukum, kinerja yang hanya dengan mudah bila diberi suap. Rusaknya birokrasi negeri ini menyebabkan semua elemen masyarakat melakukan tindakan yang tidak menganut etika.

Melihat kondisi demikian, langkah untuk memperbaiki sistem yang kacau adalah dengan penanaman ideologi etika profesi. Ideologi yang ditanamkan kepada aparat dimulai saat pemerintah melakukan rekrutmen anggotanya. Sebuah regenerasi dengan calon anggota yang benar-benar beretika serta berakhlak. Kurangnya para pemimpin atau aparat yang berakhlak menyebabkan godaan semacam apapun dapat merayu agar hukum dapat dibobol. Penanaman etika dalam suatu pekerjaan harus benar-benar mendarah daging dalam tubuh aparat. Meskipun hal ini sulit dilakukan di Indonesia lantaran ideologi ‘mafia hukum’ terus menggerogoti pemikiran aparat yang berorientasi pada ego.

Langkah selanjutnya adalah menghukum para penegak hukum yang melanggar hukum. Ini akan mengakibatkan efek jera agar para aparat tetap mematuhi etikanya sebagai penegak hukum. Norma sosial dan norma hukum yang dipulihkan agar semua elemen manusia Indonesia selalu patuh. Hal yang terpenting adalah penerapan akhlak dalam kehidupan akademik dan profesi, penanaman kesadaran tentang hak dan kewajiban, dan penguatan nilai spiritual.

Semoga para aparat cepat tersadar akibat kasus mafia hukum ini, karena ini dapat menghancurkan tatanan hukum yang ada. Hukum di Indonesia ibarat ‘Dewi Keadilan’ yang membawa pedang, akan tetapi tidak memakai penutup mata. Alhasil, hukum mengidentifikasi siapa pelanggarnya dan akan selalu bimbang dalam keputusannya. Seperti kondisi sekarang, hukum dapat ditaklukkan dengan uang melalui gratifikasi. Hal ini membuat hukum di Indonesia bagaikan mata pisau, yang tajam bagi kalangan bawah dan tumpul bagi kalangan atas. Ironis sekali terlihat bahwa hukum hanya mengatur masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi rendah.

Kasus-kasus ‘mafia hukum’ ini dapat menjadi tamparan bagi pemerintah agar selalu menekankan pada birokrasi yang tepat. Selama birokrasi di Indonesia tetap seperti ini, bukan mustahil suatu ketidakadilan yang menghsilkan kekecewaan masyarakat akan terjadi. Kekecewaan tersebut akan berdampak pada ‘amuk massa’ yang banyak terjadi pada tahun ini. Semua sistem pemerintahan akan hancur ketika masyarakat sudah tidak percaya lagi pada para aparat beserta pemimpinnya.

Sebagai generasi muda, kita harus dapat mengoreksi serta memperbaiki sistem rusak yang terjadi saat ini. Tindakan yang cacat dari generasi tua, jangan diulangi kembali. Saatnya generasi muda berbenah diri serta mempersiapkan diri untuk melanjutkan tongkat estafet dalam sistem pemerintahan Indonesia. Jika kita, generasi muda melakukan kesalahan yang sama dilakukan oleh generasi tua, maka sebaiknya kita tutup saja semuanya, karena kita pun tak dapat menjadi contoh bagi generasi berikutnya.

Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia

No comments: