Sunday, June 10, 2012

UAS MATA KULIAH PEREMPUAN DAN KEADILAN : KEKERASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN

Pendahuluan
Latar Belakang
Kehidupan perempuan di dunia ini sangatlah beragam pengalamannya. Jika kita telaah lebih dekat mengenai kehidupan perempuan, maka akan terdapat berbagai persoalan yang menimpa perempuan. Berbagai persoalan tersebut antara lain masalah dengan sistem yang membuat perempuan didiskriminasi dan memperoleh ketidakadilan. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari kita agar terus memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperoleh kesetaraan dalam sistem sosial yang terus membelenggunya.
Kembali kepada persoalan perempuan, dalam kehidupan bermasyarakat kita seringkali melihat perempuan mengalami kekerasan. Baik itu kekerasan verbal, amupun kekerasan fisik. Kerentanan perempuan menjadi korban kejahatan sangatlah besar, hal ini dikarenakan perempuan selalu dianggap sebagai pihak yang lemah. Padahal, perempuan adalah sosok yang kuat dengan tanggung jawab yang besar pada ranah domestik dan publik. Maka darin itu, perempuan butuh perlindungan agar dapat terhidar dari kejahatan yang menimpanya. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang kontribusinya dalam kehidupan sehari-hari seharusnya dapat membuat kita lebih paham akan perempuan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa kejahatan yang sering dialami perempuan yang saat ini menjadi fear of crime bagi perempuan adalah kejahatan jalanan. Berbagai kejahatan jalanan yang dialami perempuan antara lain kejahatan berupa fisik, perampokan, penjambretan dan berbagai kejahatan yang berhubungan dengan harta benda. Perlindungan bagi perempuan haruslah disadari secara nyata oleh masyarakat, bahwa perempuan yang berada pada area publik dan domestik haruslah dilindungi keberadaannya.
Dalam budaya masyarakat Indonesia yang lebih domian pada budaya partriarki, menjelaskan bahwa perempuan sebagian besar berkutat dan bekerja pada ranah domestik. Ranah domestik yang digeluti perempuan menurut sistim patriarki adalah tanggung jawab dalam mengurusi rumah tangga. Akan tetapi, realitanya banyak perempuan yang bekerja pada ranah publik dan bertanggung jawab dalam kehidupan keuangan keluarga. Hal ini membuat perempuan sekaligus menjadi tulang punggung keluarga. Padahal di dalam ranah domestik sendiri perempuan seringkali mendapatkan kekerasan, apalagi di ranah publik, perempuan pastilah juga beresiko dalam kejahatan.
Kejahatan yang berupa kekerasan seksual merupakan bentuk penindasan yang dialami perempuan. Perempuan hanya dinilai sebagai objek seksual dari para laki-laki tersebut. Hal ini seringkali perempuan menjadi objek kekerasan seksual pada ranah domestik maupun ranah publik. Dalam ranah domestik kekerasan seksual yang bisa dialami perempuan antara lain ketika perempuan tidak mau untuk berhubungan seksual dengan suaminya, dan apabila dipaksa akan menimbulkan suatu kekerasan seksual. Sedangkan pada ranah publik kekerasan yang sering dialami perempuan adalah perkosaan yang saat ini masih sangat besar kejadiannya.
Selain itu kekerasan seksual yang dialami perempuan di tempat kerja menjadi ranah tersendiri. Dalam ranah dunia kerja, biasanya kekerasan seksualnya dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Apabila perempuan yang bekerja adalah yang memiliki status bawahan maka kekerasan seksual cenderung dilakukan oleh laki-laki dengan jabatan tinggi. Selain itu kekerasan seksual bisa dilakukan oleh sesama status jabatan dalam pekerjaan sama oleh laki-laki. Di samping itu juga bisa dilakukan oleh laki-laki yang memakai jasa perempuan sangatlah besar beresiko terjadinya kekerasan seksual.
Pembahasan mengenai perempuan yang mengalami kekerasan seksual di dunia kerja dan ranah publik akan menambah kajian dan solusi bagi perempuan. Pembahasan kajian berguna dalam pandangan kekerasan dalam perspektif perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu manfaat dari kajian ini dapat digunakan sebagai solusi yang nantinya dapat menjadi referensi dalam membuat kebijakan-kebijakan bagi pemerintah. Hal ini dilakukan semua untuk perempuan, kesetaraan, dan keadilan.
Permasalahan
Kekerasan sekual yang dialami perempuan pada ranah publik dan pekerjaan membuat suatu fenomena ketakutan terhadap perempuan. Sebagai contoh perkosaan yang dialami perempuan di tempat publik akan membuat kecemasan tersendiri bagi para perempuan untuk beraktifitas. Padahal di Indonesia, begitu banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga demi keluarganya sehingga mereka beraktifitas pada ranah publik dan pekerjaan. Bentuk-bentuk kekerasan sekual seperti perkosaan haruslah dikaji secara mendalam dengan perspektif gender. Faktor-faktor yang membuat perempuan menjadi korban kekerasan sekual harus dikasi dengan komprehensif agar dapat mengahasilkan analisa kritis yang berguna bagi kebijakan pemerintah dalam menanggapi kasus perkosaan ini.
Kajian Kepustakaan
Jurnal Internasional
Dalam jurnal Gender and Sexual Harassment dijelaskan bahwa berdasarkan perspektif sosiologis status dalam organisasi memprediksi adanya pengaruh terjadinya kekerasan seksual. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan sekual adalah dengan cara menggabungkan antara teori kriminologi dengan kajian interaksi dalam organisasi. Salah satu teori yang bisa dipakai dalam kajian ini adalah teori aktifitas rutin dalam memecahkan masalah pelecehan seksual. Dalam penelitian ini, peneliti masih berjuang untuk membangun suatu teori yang menyangkut masalah penyimpangan dan kekerasan dalam organisasi.
Berdasarkan jurnal Explaining Sexual Harassment Judgments: Looking beyond Gender of Rater menjelaskan penelitian yang berdasarkan gender, usia, dan pengalaman pekerjaan terhadap resiko terkena kekerasan seksual. Sistem hukum melihat akibat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban kejahatan dan kekerasan seksual menjadikan sebuah keputusan bagi pemerintah untuk turun tangan. Hal ini terkait dengan isu-su pelecehan seksual agar pemerintah membuat penanganan hukum khusus untuk masalah perempuan. Selain itu, pemerintah juga akan mengatur organisasi dan kelembagaan kerja dalam pembuatan regulasi agar dalam pekerjaan terhindar dari kekerasan, terutama untuk kekerasan seksual pada perempuan.
Dalam jurnal “Hey, Why Don’t You Wear a Shorter Skirt?”: Structural Vulnerability and the Organization of Sexual Harassment in Temporary Clerical Employment disebutkan bahwa pekerjaan administratif merupakan bentuk pekerjaan yang feminin dan melemahkan. Hal ini dikarenakan, statusnya renda, depresionalisasi, pekerja menumpuk dalam satu lingkungan dan terkadang terdapat banyak perlakuan buruk termasuk pelecehan seksual. Pelecehan seksual dilihat sebagai hasil dari organisasi kerja dan bukan hanya hasil dari tindakan individu. Menurut Judith Lorber (1994) mencatat bahwa perempuan secara ekonomi termarjinalkan dan laki-laki tidak bisa memecahkan masalah pelecehan seksual.
Hubungan kerja menciptakan pekerja marjinal yaitu mementingkan kepentingan klien dan berusaha memenuhi hak-hak klien tersebut. Dalam lingkungan seperti ini, membuktikan bahwa pelecehan seksual tumbuh subur dan dijadikan hal yang bisa ditolerir daripada resiko kelhilangan pekerjaan. Dalam pekerjaan yang tidak setara ini membuat eksploitasi antara majikan dan pekerja, klien terhadap penyedia menjadi hal yang wajar. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan sistem pekerjaan yang membuat tumbuh subur pelecehan sekual bagi perempuan. Seharusnya pekerja diberikan kekuasaan yang besar untuk mengatasi masalah pelecehan seksual tanpa adanya pembalasan dari PHK. Keharusan organisasi dalam kontribusi masalah gender dapat meminimalisir kekrasan seksual.
Dalam Jurnal Insights into Sexual Harassment of Salespeople by Customers: The Role of Gender and Customer Power dijelaskan bahwa kekerasan seksual terkadang terjadi dalam proses transaksi jasa antara Pekerja Seks Komersial dengan pelanggan. Hal ini dikarenakan tidak adanya jaminan antara kedua belah pihak dan cenderung merupakan pekerjaan yang tidak formal. Apabila terjadi suatu kejahatan akan dapat diusut oleh kepolisian, namun reskio dan kerugian merupakan maslaah antara pemberi jasa dan pelanggan.
Dalam Jurnal Selective Sexual Harassment: Differential, Treatment of Similar Groups of Women Workers menyatakan bahwa jika sub kelompok pekerja benar-benar mengalami perlakuan yang berbeda, maka hukum harus menyadari hal ini akan menyadari adanya pelecehan seksual yang selektif. Biasanya korban yang biasanya diteliti adalah perempuan oleh laki-laki. Akan tetapi semuanya bisa berpotensi, antara laki-laki oleh laki-laki, perempuan oleh perempuan, dan laki-laki oleh perempuan. Jadi, dalam kekerasan seksual semua dapat berpotensi dan hal ini akan sesuai dengan tempat kerjanya.
Dalam jurnal Sexual Harassment dijelaskan bahwa kekerasan sekual tidak sesungguhnya diberikan satu definisi. Hal ini berarti suatu bentuk relativitas dari satu perempuan dengan perempuan lainnya. Secara umum, kita merasakan bahwa kekerasan merupakan salah satu bentuk dari tingkah laku atau kebiasaan yang membuat marah, kecewa, tidak senang, dan merugikan. Hal ini bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.
Buku
Dalam Buku Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan dijelaskan bahwa gendr sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan diisolasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya social expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki (Morris, 1989). Perspektif feminis atas kekerasan mencoba beranjak dari analisis “structural violence” yang menjelaskan bahwa secara sosial dicatat sanksi kekerasan terhadap perempuan telah melekat dan terpatri sejak lama. Sebagai contoh kepercayaan patriarki yang menyebut bahwa laki-laki mendominasi struktur keluarga yang mana perempuan secara historis dilihat sebagai seorang yang tidak mampu menangani urusannya sendiri tanpa kepemimpinan dan otoritas patriarki (Buzawa, 1990: 18-19).
Dark number untuk kasus perkosaan dan kekerasan seksual dan eksploitasi seksual yang terselubung lainnya diperkirakan cukup tinggi mengingat masyarakat menutupinya atau enggan melaporkannya karena akan memperpanjang penderitaan korban. Kurangnya bukti dan tidak adanya saksi merupakan salah satu faktor penghambat terungkapnya kasus-kasus kekerasan seksual. Dua hal yang paling mendasar yang dialami korban perkosaan adalah viktimisasi seksual dan stigmatisasi sosial.
Uraian Kasus
Kasus ini terjadi di Bekasi, dan terjadi pada tanggal 8 Januari 2004. Terdapat seorang pekerja seks komersial yang bernama Ani diajak berkencan oleh pelanggannya yang bernama Siahaan. Saat itu Ani datang ke sebuah kamar tempat mereka janjian bertemu. Saat itu mereka bertemu di Wisma Citra Bekasi dan ternyata Siahaan membawa dua temannya yang bernama Johan dan Franki. Tiba-tiba Ani diserang oleh mereka bertiga tersebut.
Ani yang tidak berdaya diikat di ranjang dan dibekap tangannya. Selanjutnya Ani disetubuhi secara bergiliran oleh ketiga laki-laki tersebut. setelah diperkosa, perhiasan Ani, telepon genggam, dan uang dibawa lari oleh Johan dan Franki yang saat itu masih menjadi buronan. Sedangkan Siahaan berhasil ditangkap karena waktu itu Ani berteriak minta tolong, lantas Siahaan berhasil ditangkap warga dan dihajar sampai babak belur.
Analisa
Kekerasan dipandang sebagai kekerasan yang berbasis gender atau gendered based violence. Konsep ini mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless dan powerful. Dengan kata lain terdapat ketimpangan kekuasaan antara perempuan da laki-laki. Seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak dipandang sebagai aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Hal ini mengakibatkan adanya ketidaknyamanan dan kecemasan akan rasa aman yang seringkali disebut dengan fear of crime.
Seperti yang diuraikan pada kasus perkosaan pada PSK dan perampokannya akan mengndang rasa takut kepada para perempuan yang menyaksikan berita tersebut. Hal ini mengakibatkan banyaknya perempuan yang merasa tidak aman dan dihanti rasa takut berada di luar rumah pada amlam hari karena mereka terancam akan bahaya kekerasan seksual. Kerentanan yang dirasakan oleh perempuan juga dapat dijelaskan ooleh penelitian Allison Morris, bahwa kejahatan yang menimpa perempuan memiliki karakteristik antara lain : 1. Dilakukan oleh laki-laki, 2. Perempuan mengetahui siapa yang menyerang, 3. Lebih cenderung diserang di rumah, 4. Perempuan lebih dimungkinkan mengalami rasa bersalah atas viktimisasi daripada laki-laki.
Bila dikaitkan dengan kasus PSK yang diperkosa tersebut, terdapat relevansi dengan premis-premis yang disebutkan oleh Allison Morris. Bahwa PSK tersebut menjadi korban laki-laki, kemudian oleh pelaku yang telah dikenalinya sebelumnya. Selanjutnya perempuan diserang dan mengalami kekerasan seksual pada sebuah kamar dalam ruang yang cenderung privat. Kerentanan yang dimiliki oleh perempuan ini diperngaruhi oleh ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan klien dan pemberi jasa.
Seperti yang dijelaskan pada jurnal “Hey, Why Don’t You Wear a Shorter Skirt?”: Structural Vulnerability and the Organization of Sexual Harassment in Temporary Clerical Employment disebutkan bahwa hubungan kerja menciptakan pekerja marjinal yaitu mementingkan kepentingan klien dan berusaha memenuhi hak-hak klien tersebut. seperti yang dijelaskan sebelumnya, profesi perempuan yang menjadi korban adalah PSK. Dalam hal ini Ani memiliki posisi sebagai penyedia jasa dan bertemu dengan Siahaan sebagai klien. Siahaan yang memiliki posisi sebagai klien meminta untuk dilayani dan membuat Ani melayaninya. Akan tetapi, hal tersebut dimanfaatkan oleh Siahaan untuk memperkosa Ani.
Untuk melancarkan aksinya tersebut Siahaan meminta bantuan dua orang temannya untuk menggasak perhiasan, telefon genggam, dan uangnya. Kerentanan perempuan ini menjadi besar diakrenakan proses transaksi jasa dan pelayanan yang disediakan Ani merupakan bukan ranah pekerjaan formal yang memiliki jaminan. Pekerjaan PSK yang digeluti Ani merupakan suatu pekerjaan yang sangat beresiko terjadinya suatu kekerasan seksual.
Dalam perpektif gender, kondisi perempuan yang dirugikan dalam perkosaan tersebut merupakan bentuk dari ketidakadilan dan tidak adanya pemuenuhan hak-hak korban. Sebagai contohnya, dalam perjanjian antara penyedia jasa dan klien seharusnya berlaku adil. Dari perspektif laki-laki yang memperkosa Ani berpikir bahwa perempuan yang sendirian menuju Wisma di Bekasi pasti minim akan pengamanan, sehingga mudah untuk diperdaya. Dan secara fisik, perempuan yang sendirian akan cenderung lemah dibandingkan oleh kekuatan tiga laki-laki.
Dengan memanfaatkan hal seperti inilah, pelaku melancarkan aksinya pada Ani. Selain itu, Ani juga dirampas habis-habisan hartanya yang dibawa saat itu. Meskipun pekerjaan Ani bukan merupakan pekerjaan formal yang dilindungi hukum, seharunya pemerintah memberikan perlindungan pada pekerjaan informal ini. Hal ini dikarenakan masih banyak perempuan di Indonesia yang bekerja tidak di bawah naungan hukum. Pekerjaan lain seperti PSK yang tidak di bawah naungan hukum banyak dilakukan oleh perempuan yang bekerja mencari nafkah dan hidup sebagai tulang punggung keluarga.
Berdasarkan jurnal Gender and Sexual Harassment dijelaskan bahwa berdasarkan perspektif sosiologis status dalam organisasi memprediksi adanya pengaruh terjadinya kekerasan seksual. meskipun pada kasus yang saya angkat tidak membahas struktur dalam organisasi formal, namun seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia dominan menganut sistim patriarki yang saya asumsikan sebagai bentuk organisasi makro.dalam struktur sistim sosial patriarki, perempuan adalah pihak yang lebih rendah peran sosialnya dibandingkan oleh laki-laki. Sehingga dalam kasus perkosaan yang menimpa Ani tersebut terdapat andil bahwa laki-laki yang sebagai Klien tersebut menganggap perempuan penyedia jasa seks komersial dapat dibodohi dan dimanfaatkan serrta mengeksploitasi tubuh dan hartanya.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan sekual adalah dengan cara menggabungkan antara teori kriminologi dengan kajian interaksi dalam organisasi. Salah satu teori yang bisa dipakai dalam kajian ini adalah teori aktifitas rutin dalam memecahkan masalah pelecehan seksual. Sebagai pekerja seks komersial, Ani sudah dipastikan memilikin aktifitas rutin keluar pada malam hari. Hal ini mengakibatkan kecenderungan untuk mendapatkan kejahatan dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab tersebut. Laki-laki (penjahat) tersebut memanfaatkan aktifitas rutin Ani dan mencari celah untuk mengeksploitasi dirinya. Seharusnya pengawasan selama 24 jam harus dilakukan oleh aparat dlaam menangani kasus yang terjadi pada malam hari, agar semua pelaku kejahatan yang tidak tertangkap dapat dengan mudah terungkap.
Selain itu pemenuhan hak-hak Ani sebagai korban pemerkosaan harus dipenuhi oleh pemerintah, karena selama ini korban hanya menerima pengusutan dari polisi dan pelakunya hanya dihukum penjara. Untuk menggantikan kerugian secara materiin, fisik dan psikis seharusnya masyarakat memeperhatikan hak-hak perempuan agar kelangsungan kehidupannya dapat kembali pulih. Perempuan yang dirampas haknya dan tidak dipulihkan merupakan bentuk dari ketidakadilan yang selama ini menjadi fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia.
Meskipun seperti yang dijelaskan dalam jurnal Sexual Harassment yang menyatakan bahwa kekerasan sekual tidak sesungguhnya diberikan satu definisi. Namun kita sepakat bahwa semua yang kita anggap dan dirasakan tidak nyaman kita dapatkan dan tidak kita kehendaki merupakan bentuk kekerasan. Hal ini berarti suatu bentuk relativitas dari satu perempuan dengan perempuan lainnya. Mungkin bagi Ani pemerkosaan yang menimpa dirinya adalah hal yang sangat menyakitkan dan sangat merugikan baginya, meskipun dia berprofesi sebagai PSK. Secara umum, kita merasakan bahwa kekerasan merupakan salah satu bentuk dari tingkah laku atau kebiasaan yang membuat marah, kecewa, tidak senang, dan merugikan. Hal ini bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Dan, bagi masyarakat kita hal ini haruslah kita internalisasikan kepada masyarakat agar saling menghargai dan monghormati dalam melakukan tindakannya. Bergitu juga dalam memperlakukan perempuan, mereka harus diberikan penghormatan dan diperlkukan secara khusus demi kepentingan terbaik bagi perempuan.
Dalam menganalisa untuk dibuatnya sebuah regulasi dan kebijakan, menurut jurnal Explaining Sexual Harassment Judgments: Looking beyond Gender of Rater menjelaskan penelitian yang berdasarkan gender, usia, dan pengalaman pekerjaan terhadap resiko terkena kekerasan seksual.Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Sistem hukum melihat akibat dari banyaknya perempuan yang menjadi korban kejahatan dan kekerasan seksual menjadikan sebuah keputusan bagi pemerintah untuk turun tangan. Salah satu kebijakan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan hak-hak bagi korban perkosaan yang telah direngggut baik secara materi, fisik dan psikis. Hak bagi korban dalam hal ini saruslah sangat ditekankan, karena selama ini hak korban merupakan sesuatu yang selalu diabaikan dan dianggap sebagai hal yang wajar dalam kejahatan.
Dalam menanggapi masalah yang terkait dengan isu-su pelecehan seksual agar pemerintah membuat penanganan hukum khusus untuk masalah perempuan. Dibentuknya suatu LBH khusus perempuan dan LSM bagi keadilan perempuan sangat diperlukan untuk menyerukan hak-hak perempuan dalam masalah yang dihadapi. Fungsi dari LBH khusus perempuan dan LSM sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan kesetaraan dan keadiln yang didapatkan oleh perempuan. Hal ini dilakukan agar kedepannya, maslaah-masalah yang menimpa perempuan dapat diselesaikan dengan keadilan dan meminimalisir kerugian yang dialami perempuan.
Kesimpulan dan Saran
Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan merupakan salah satu bentuk keadilan yang dialami oleh perempuan. Perempuan menjadi korban dalam dunia pekerjaan pada ranah publik. Pemenuhan hak-hak bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual juga belum sepenuhnya didapatkan oleh perempuan. Hal yang bisa dilakukan adalah membuat kebijakan yang menyangkut tentang hak-hak perempuan yang dirapas, dan harus dikembalikan seperti semula. Ini bukan hanya kewajiban negara, namun bagi masyarakat perlu adanya pemikiran kesetaraan gender untuk keadilan bagi perempuan.
Rekomendasi yang dapat ditawarkan bagi keadilan perempuan korban kekersan seksual antara lain pembentukan LBH khusus dan pembuatan LSM khusus yang menyuarakan kepentingan perempuan. Pembentukan ekdua lembaga tersebut jika berkembang dengan baik akan dapat merubah pola pikir masyarakat yang terkadang memarjinalkan perempuan dan mengabaikan hak-hak mereka yang selama ini tidak mereka dapatkan. Hal ini semua dilakukan bagi perempuan, kesetaraan, dan keadilan.


Daftar Pustaka
• Welsh, Sandy. Gender and Sexual Harassment. Annual Review of Sociology, Vol. 25 (1999), pp. 169-190
• Maureen O'Connor, Barbara A. Gutek, Margaret Stockdale, Tracey M. Geer andRenĂ©e Melançon. Sexual Harassment Judgments: Looking beyond Gender of the Rater. Law and Human Behavior, Vol. 28, No. 1 (Feb., 2004), pp. 69-95
• Jackie Krasas Rogers and Kevin D. Henson. "Hey, Why Don't You Wear a Shorter Skirt?": Structural Vulnerability and the Organizationof Sexual Harassment in Temporary Clerical Employment. Gender and Society, Vol. 11, No. 2 (Apr., 1997), pp. 215-237
• Leslie M. Fine, C. David Shepherd and Susan L. Josephs. Insights into Sexual Harassment of Salespeople by Customers: The Role of Gender andCustomer Power. The Journal of Personal Selling and Sales Management, Vol. 19, No. 2 (Spring, 1999),pp. 19-34
• Elizabeth A. Hoffmann. Selective Sexual Harassment: Differential Treatment of Similar Groups of Women Workers. Law and Human Behavior, Vol. 28, No. 1 (Feb., 2004), pp. 29-45
• Quinlin, Vicky. Sexual Harassment. Agenda, No. 3 (1988), pp. 40-42
• Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
• http://berita.liputan6.com/read/69806/pelacur_dirampok_dan_diperkosa diakses pada tanggal 31 Mei 2012, Pukul 10:39 PM

No comments: