Sunday, June 10, 2012

Industri Pendidikan


Perkembangan kompleksitas perekonomian pada abad ini menjadi hal yang dikejar-kejar manusia. Hasrat untuk mendapatkan kecukupan dan bahkan kelebihan ekonomi merupakan tolok ukur kesuksesan manusia. Selain karena kebutuhan manusia semakin meningkat dengan perkembangan teknologi, terdapat juga budaya populer prestise agar tidak terlihat miskin ataupun sederhana. Layaknya rantai makanan dalam kelompok manusia, kita berlomba-lomba dalam mencapai kemapanan ekonomi dalam arena kapitalisasi.
Sejak kecil kita sudah diarahkan prospek kedepannya sesuai dengan cita-cita masing-masing, meskipun banyak yang tidak memiliki juga. Hal ini merupakan langkah awal penuntutan kita agar dapat bersaing kedepannya di masa depan dalam usaha mencapai kecukupan ekonomi. pendidikan yang sesuai dengan bakat kita dinilai dapat menyukseskan kita di masa depan dalam arena persaingan ekonomi. untuk itu, di ranah pendidikan formal lah sebagian besar harapan peluang sukses dalam perekonomian diletakkan. Pada kenyataannya memang benar, budaya peradaban kita saat ini menuntut akan hal tersebut. Sebuah rasionalisasi yang tidak mudah dirubah hanya dengan revolusi.
Dunia pendidikan kita saat ini terutama di Indonesia sejak awal dibentuknya memang digunakan sebagai sarana pencerdasan anak bangsa. Anak bangsa yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan cenderung akan memiliki posisi penting di dalam masyarakat, karena jaman awal tersebut masihlah sedikit yang menekuni dunia pendidikan. Hal ini mengakibatkan, kesempatan untuk memperoleh pendidikan ini digunakanm sesuai dengan keadaan waktu itu, yaitu mencari cendekiawan dan ahli dari negeri sendiri untuk mengalihkan imperialisasi dari ahli luar negeri. Meskipun, asal-usul adanya cendekiawan dalam negeri masih di bawah kekuasaan orang asing.
Saat ini, setelah milenium 2000 dunia pendidikan di Indonesia berkembang dengan banyaknya wadah-wadah infrastruktur pendidikan. Menjamur, dan berkembang sesuai dengan upaya pembangunan bangsa. Program-program pemerintah untuk menggalakkan pendidikan merupakan angin segar dalam era kita saat ini. Namun, setelah mengetahui harapan terbesar mencukupi ekonomi adalah dengan pendidikan, masyarakat dengan segala upaya agar masuk ranah pendidikan untuk mengejar status pendidikannya. Nantinya, status pendidikan inilah yang akan digunakan sebagai alat untuk menciptakan uang. Dengan bermodalkan catatan legal hitam di atas putih dari instansi, siapaun berhak mendapatkan kesempatan posisi dalam jabatan. Selanjutnya, muara yang sama juga akan mengalir pada ekonomi.
Kembali lagi pada masalah kecenderungan persaingan. Menjamurnya instansi pendidikan yang dapat mengeluarkan catatan legal hitam di atas putih, akan memunculkan kembali bentuk upaya segala cara agar dapat memilikinya. Dalam hal ini, masalah-masalah di dalam dunia pendidikan dalam era industrialisasi muncul. Masyarakat memiliki kecenderungan agar dapat memiliki gelar pendidikan untuk bekerja mencari uang. Tidak peduli bagaimana pola persaingan secara pendidikan, yang terpenting adalah mendapatkan catatan hitam di atas putih instansi pendidikan yang nantinya akan berguna untuk proses mendapatkan pekerjaan. Layaknya robot-robot yang diprogram untuk mengikuti keinginan situasi, gejala kolektif ini tidak akan ada bedanya dengan pola kehidupan sebelumnya secara nilai.
Dengan mengatasnamakan pendidikan, industrialisasi dapat muncul dimanapun selama manusia membutuhkan uang untuk hidup. Bahkan jika melihat kondisi ini, sebuah perubahan pencerdasan pun tidak begitu dipahami nilainya, karena uanglah yang membuat kita bersaing, bukan dalam pendidikan. Industri pendidikan ini hanyalah contoh nyata bahwa dalam dunia pendidikan ini juga bukanlah tempat sebenarnya mencari ilmu. Hal ini dikarenakan peradaban kita saat ini menuntut agar perkembangannya di dasarkan kepada industri pendidikan, masih dengan uang sebagai bahan bakarnya. Pada dasarnya, ilmu tercipta dalam usaha manusia mencari kebutuhan hidup, seperti modal dan uang.
Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

No comments: