Monday, December 6, 2010

Siapapun (Ketua KPK) Itu

Senin, 6 Desember 2010 - 17:51 wib

Berita mengenai terbitnya Ketua KPK baru membuat polemik opini di masyarakat. Program yang akan dicanangkan oleh ketua baru tersebut bukan asal-asalan, melainkan sudah dipersiapkan dengan baik melalui proses diskusi yang panjang. Hanya saja, tinggal dalam mengambil keputusan final saja, kemampuan ketua KPK tersebut dapat diakui. Kriteria dalam proses seleksi sudah menunjukkan kapabilitas yang cukup sebagai seorang ketua. Jadi, agar kinerja kepemimpinannya dapat terlihat, kita hanya bisa mengamati terlebih dahulu serta berharap agar kesalahan-kesalahan konyol yang dilakukan pendahulunya tidak terulang kembali.

Pada dasarnya entah siapapun ketua KPK yang menjabat, selagi kita masih menganggap fenomena korupsi di Indonesia sebagai ‘budaya’, dalam istilah ‘budaya korupsi’ ini, tak ada artinya lagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi, bahkan hanya sebagai hiasan saja dalam pemerintahan. Mengenai istilah ‘budaya’ yang seringkali dengan entengnya disandingkan dengan ‘korupsi’ harus dibuang jauh-jauh dari benak masyarakat. Saatnya menerapkan ke otak masyarakat bahwa korupsi itu ‘bandit’ kelas kakap, penjahat intelek yang sangat berbahaya. Itu saja sebenarnya sudah bisa membuat pandangan masyarakat lebih geram terhadap korupsi, dibanding dengan istilah sebelumnya yang agak mentolerir kesalahan korupsi.

Dalam ranah hukum, proses peradilan terakhir berbentuk kurungan penjara. Apakah kurungan ini efektif? Tentu saja sangat tidak. Jika hanya hukuman kurungan setelah itu bebas beraksi, bagaikan melukis di atas air saja. Di negara kita, korupsi lebih ringan hukumannya daripada pembunuhan. Padahal, penyebab kekacauan sistim perekonomian serta hukum adalah uang. Uang yang mengatur segalanya. Uang dapat membeli apapun di negara kita yang serba kesulitan ini. Kalau memang begitu, bisa saja dengan uang yang sangat tinggi tersebut dapat mengendalikan lembaga pemberantas korupsi. Jika hal ini bisa terjadi, negeri ini sudah tidak ada aturan, segalanya bebas.

Kehadiran KPK dianggap sebagai kedatangan pahlawan bangsa dalam memberantas kerakusan. Ini sangat benar sesuai dengan tujuan dibentuknya KPK. Akan tetapi, hal ini akan tidak ada gunanya bila dalam kubu KPK sendiri banyak konflik yang mendera. KPK sudah sepatutnya bersinergi terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang masih jujur, meskipun sangat sulit. Kerena, kinerja KPK akan terhambat bila peristiwa seperti Cicak-Buaya kembali mencuat, sebuah pertikaian panjang karena sulitnya pergerakan lembaga yang masih muda.

Selama lembaga penegakan hukum masih terdapat kecacatan, proses penggabungan kekuatan akan terhenti. Pasalnya, KPK sendiri sebagai Junior akan dikerdilkan di hadapan seniornya. Jika pihak senior melanggar, akan membuat konflik yang menguras tenaga lagi agar hukum dapat ditegakkan. Itulah sebuah hambatan bagi lembaga yang baru saja terbentuk, power juga masih terbatas. Namun bisa diakui, niat dan tujuan sungguh idealisme yang sangat luar biasa.

Kitalah sebenarnya sebagai ketua KPK tersebut, untuk diri kita. Akar permasalahannya bukan menyalahkan orang lain, lalu kita aman. Mulailah dari diri sendiri, apakah diri kita ini sudah steril dari korupsi atau belum. Ketua KPK pastinya akan sangat kesulitan bila di setiap bagian dari manusia Indonesia memiliki potensi dan keinginan besar untuk berkorupsi.

Sebagai bangsa yang baik, kita sudah seharusnya belajar pada sejarah yang telah terjadi. Pemimpin terbaik adalah pemimpin yang dapat memimpin diri kita, yaitu diri sendiri. Diri kita mengatur perilaku kita agar berperilaku baik, itu saja sudah cukup. Kita tahu, tujuan KPK sangat brilian dan revolusioner. Patut dihargai dan didukung. Meskipun dengan keterbatasan kekuatan, ini akan menjadi langkah awal baru untuk perubahan.

Dani Satria
Mahasiswa Departemen Kriminologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

No comments: